Sejarah Pondok Pesantren Modern Gontor
Kyai Ahmad Sahal, Kyai Zainuddin Fannani & Kyai Imam Zarkasyi |
Kyai Syuja’i yang saat
ini menjadi Direktur Pondok Pesantren Gontor 6 Magelang ketika ditemui di
kediamannya mengatakan Pondok Pesantren Gontor sudah berkembang demikian
pesatnya, tersebar hingga Sumatera dan Kalimantan. Semuanya tentu tidak
terlepas dari komitmen untuk membentuk generasi muda yang berakhlakul karimah,
cakap dalam pergaulan internasional dengan fasih berbahasa Inggris dan Arab,
serta berwawasan kebangsaan. Tidak mengherankan, jika selama perjalanannya
Ponpes Modern Gontor banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional yang banyak
berkiprah untuk negeri ini.
Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo
Jawa Timur adalah salah satu pesantren besar yang terkenal di indonesia .
Pesantren ini berdiri pada tahun 1926 jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
Alumninya banyak yang berhasil dan menjadi tokoh di masyarakat antara lain: M. Hidayat Nur Wahid,Mantan
Ketua MPR RI Muhammad Maftuh
Basyuni, Mantan Menteri Agama Din Syamsuddin, Ketua
Umum PP Muhammadiyah.KH Hasyim Muzadi, mantan
Ketua Umum PB Nahdhatul Ulama (NU), Budayawan Emha Ainun
Nadjib, Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid. Semuanya meruapakan tokoh Cendekiawan Muslim lulusan Pondok Pesantren Modern
Darussalam Gontor yang berada pada satu simpul pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
Pondok Gontor didirikan
pada 12 Rabiul Awwal 1345H/20 September 1926 oleh tiga bersaudara yaitu K.H.
Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani dan K.H. Imam Zarkasyi.yang ketiganya
mashur dengan sebutan Trimurti.Pondok Modern Gontor berakar jauh ke abad 18
yaitu dari Pondok Tegalsari yang didirikan oleh Kiai Ageng Mohammad Besari
(Bashori). Pesantren ini memiliki hubungan baik dengan
Istana Kartasura setelah Pakubuwono II yang dibantu Kiai Ageng Mohammad Besari
meraih tahtanya kembali, setelah sempat terusir dari keraton akibat
pemberontakan pada 1742. Sebagai ungkapan terima kasih, Tegalsari ditetapkan
oleh Pakubuwono II sebagai wilayah perdikan, yaitu daerah yang bebas dari
segala kewajiban kepada kerajaan.
Santri Tegalsari saat itu datang dari
berbagai kelas sosial, dari masyarakat biasa hingga kalangan keraton. Pesantren
ini mencapai kemajuan pada masa kepemimpinan Kyai Kasan Anom Besari (1800-1862). Semenjak
wafatnya, Tegalsari mengalami kemunduran walaupun masih tetap bertahan hingga
saat ini.Pada pertengahan abad ke-19, Tegalsari dipimpin Kiai Cholifah. Salah
seorang santrinya yang cerdas dan baik yaitu R.M.H Sulaiman Jamalludin yang
kemudian dijodohkan dengan dengan putri Kyai Cholifah.R.M.H Jamalludin yang cucu dari
Pangeran Hadiraja Sultan Kasepuhan Cirebon, diberi amanat untuk mendirikan
pondok di sebuah desa, 3 km sebelah timur Pondok Tegalsari. Bersama 40 santri
yang dibekalkan kepadanya, Jamalludin melakukan babad desa. Maklumlah kawasan
yang dibuka itu adalah wilayah tak bertuan, lebat oleh pepohonan dan dihuni
binatang liar. Kawasan itu sebelumnya dikenal sebagai sarang penyamun. Dalam
bahasa Jawa, tempat itu disebut enggon kotor atau tempat kotor.
Dari nama inilah, muncul nama Gontor. Di tempat inilah Kyai muda
Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok
pesantren seperti Tegalsari. Dengan 40 santri yang dibekalkan oleh Kyai
Khalifah kepadanya, maka berangkatlah rombongan tersebut menuju desa Gontor
untuk mendirikan Pondok Gontor.
Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut; kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi. Jumlah santri hanya tinggal sedikit dan mereka belajar di sebuah masjid kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun Pondok Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kyai Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa Gontor. Ia tetap menjadi figur dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di desa Gontor dan sekitarnya. Dalam usia yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso dipanggil Allah SWT.
Dengan wafatnya Kyai Santoso ini, masa
kejayaan Pondok Gontor Lama benar-benar sirna. Saudara-saudara Kyai Santoso
tidak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan
Pondok. Yang tinggal hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan
puterinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan Masjid tua warisan
nenek moyangnya.
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Gontor yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu.
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Gontor yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu.
Beliau wafat saat ketiga puteranya masih
dalam masa belajar.Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya kejayaan
Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang sebelumnya taat
beragama tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka berubah menjadi masyarakat
yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama. Kehidupan mo-limo: maling (mencuri),
madon (main perempuan), madat (menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi)
telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Pondok yang didirikan oleh Sulaiman
Jamalludin ini berkembang pesat hingga generasi ketiga saat dipimpin oleh Kiai
Santoso Anom Besari. Selanjutnya berbekal tekad bulat dan tanggung jawab
melanjutkan perjuangan menegakkan agama, Ahmad Sahal, Zainuddin Fanani dan Imam
Zarkasyi membangun kembali Pondok Gontor warisan orang tuanya itu.Undangan Raja
Saud dari Arab Saudi kepada para pemimpin Islam di Indonesia untuk menghadiri
Konferensi Umat Islam sedunia di Mekah pada 1926, juga menjadi salah satu
pemicu pendirian Gontor.
Pertemuan para pemimpin
umat dan tokoh Islam di Surabaya untuk menentukan kualifikasi utusan dari
Indonesia yaitu mahir berbahasa Arab dan Inggris ternyata tidak mudah untuk
diwujudkan. Akhirnya disepakati mengirim dua orang
utusan yang ahli berbahasa Inggris yaitu HOS Cokroaminoto dan satunya lagi K.H.
Mas Mansur yang mahir berbahasa Arab. Tahun itu juga, sepulang dari Mekkah, HOS
Cokroaminoto menyampaikan pidato berisi ide-ide kebangkitan dunia Islam pada
Konggres Umat Islam di Surabaya. Ide-ide yang disampaikannya adalah buah
pemikiran tokoh pembaharu Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.Kesan
pertemuan ini membekas pada pemuda Ahmad Sahal yang hadir pada pertemuan itu
yang kemudian mendiskusikannya bersama kedua adiknya yaitu Zainuddin Fannani
dan Imam Zarkasyi. Mereka kemudian mengambil langkah kongkret dengan mendirikan Tarbiyat al
Athfal (pendidikan anak-anak) di Gontor.
Tarbiyat al Athfal mengajarkan
materi-materi dasar agama Islam, bimbingan akhlak, kesenian, dan pengetahuan
umum sesuai tingkat kebutuhan masyarakat saat itu. Di samping itu diajarkan
pula cara bercocok tanam, beternak, pertukangan, bertenun dan berorganisasi.Kegiatan
pendidikan di Gontor itu menarik orang-orang dari luar desa berdatangan. Karena
minat yang besar dari masyarakat, Tarbiyat al Athfal membuka cabang di
desa-desa sekitar Gontor. Beberapa Tarbiyat al Athfal lantas bergabung
membentuk Tarbiyat al Islam (pendidikan Islam) dengan masa belajar 6 tahun. Setelah menamatkan muridnya yang pertama,
dibukalah program lanjutan bernama Sullam Al Muta’allimin (Tangga Para Pelajar) yang berlangsung hingga tahun 1936.
Tingkatan ini mengajarkan ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, terjemah Al-Quran secara
lebih luas dan dalam. Santri juga diajari cara berpidato, cara membahas suatu
persoalan, ilmu Jiwa dan Psikologi dan mengikuti kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler berupa ketrampilan, olahraga, kesenian dan berorganisasi.
Pada peringatan satu dasawarsa Pondok
tanggal 19 Desember 1936, diperkenalkan sebutan modern untuk Pondok Gontor.
Sejak itu, nama lengkap pondok menjadi Pondok Modern Darussalam Gontor. Pada
peringatan itu pula diresmikan berdirinya sistem pendidikan baru bernama Kulliyat
al-Mu’allimin al-Islamiyah (KMI atau Sekolah Pendidikan Guru Islam). Sistem
KMI ini mengganti sistem Tarbiyat al Athfal maupun Tarbiyat al Islam. Inilah
sistem pendidikan pesantren modern yang berbeda dengan sistem pondok pesantren
tradisional yang berlaku umum saat itu. Santri belajar dengan
sistem klasikal layaknya yang berlaku di madrasah. Selain mendapat pelajaran
agama dan umum, bahasa pengantar pembelajaran dan bahasa pergaulan santri wajib
memakai bahasa Arab dan Inggris. Di belakang hari, sistem KMI ini dicontoh dan
ditiru oleh Pondok Pesantren Darunnajah dengan nama TMI (Tarbiyatul
Muallimin/at al Islamiyah). Pada tahun 1963
Pondok Gontor mendirikan Institut
Studi Islam Darussalam (ISID).dan Pada tahun 1994
didirikan pondok khusus putri untuk tingkat KMI dan pendidikan tinggi yang
khusus menerima alumni KMI. Pondok khusus putri ini menempati tanah wakaf
seluas 187 hektar. Terletak di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Kini, pondok khusus putri
memiliki lima cabang, tiga cabang berlokasi di Ngawi, satu cabang di Sulawesi Tenggara dan satu di Kediri. Hingga kini gontor telah
memiliki 17 cabang yang terdiri dari 13 kampus di seluruh Indonesia dan santri/
santriwatinya mencapai 14.273 orang. Tidak seperti pesantren pada umumnya, para
pengajarnya pun berdasi dan bercelana panjang pantalon. Itulah Pondok Pesantren Gontor yang
fenomenal, yang dibangun berkat kerja keras, kegigihan seorang ibu (Nyai
Santoso) untuk mendidik putra-putrinya, dan tentu saja semuanya berjalan atas
kehendak Allah Subhanahu wata’ala. (diolah dari berbagai sumber)
(HFD-Sangkalala)
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)