Jumat, 02 Mei 2014

Sejarah Pondok Pesantren Modern Gontor 

Kyai Ahmad Sahal, Kyai Zainuddin Fannani & Kyai Imam Zarkasyi

Kyai Syuja’i yang saat ini menjadi Direktur Pondok Pesantren Gontor 6 Magelang ketika ditemui di kediamannya mengatakan Pondok Pesantren Gontor sudah berkembang demikian pesatnya, tersebar hingga Sumatera dan Kalimantan. Semuanya tentu tidak terlepas dari komitmen untuk membentuk generasi muda yang berakhlakul karimah, cakap dalam pergaulan internasional dengan fasih berbahasa Inggris dan Arab, serta berwawasan kebangsaan. Tidak mengherankan, jika selama perjalanannya Ponpes Modern Gontor banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional yang banyak berkiprah untuk negeri ini.
 Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur adalah salah satu pesantren besar yang terkenal di indonesia . Pesantren ini berdiri pada tahun 1926 jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Alumninya banyak yang berhasil dan menjadi tokoh di masyarakat antara lain: M. Hidayat Nur Wahid,Mantan Ketua MPR RI Muhammad Maftuh Basyuni, Mantan Menteri Agama Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah.KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PB Nahdhatul Ulama (NU), Budayawan Emha Ainun Nadjib, Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid. Semuanya meruapakan tokoh Cendekiawan Muslim lulusan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor yang berada pada satu simpul pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
Pondok Gontor didirikan pada 12 Rabiul Awwal 1345H/20 September 1926 oleh tiga bersaudara yaitu K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani dan K.H. Imam Zarkasyi.yang ketiganya mashur dengan sebutan Trimurti.Pondok Modern Gontor berakar jauh ke abad 18 yaitu dari Pondok Tegalsari yang didirikan oleh Kiai Ageng Mohammad Besari (Bashori). Pesantren ini memiliki hubungan baik dengan Istana Kartasura setelah Pakubuwono II yang dibantu Kiai Ageng Mohammad Besari meraih tahtanya kembali, setelah sempat terusir dari keraton akibat pemberontakan pada 1742. Sebagai ungkapan terima kasih, Tegalsari ditetapkan oleh Pakubuwono II sebagai wilayah perdikan, yaitu daerah yang bebas dari segala kewajiban kepada kerajaan.
Santri Tegalsari saat itu datang dari berbagai kelas sosial, dari masyarakat biasa hingga kalangan keraton. Pesantren ini mencapai kemajuan pada masa kepemimpinan Kyai Kasan Anom Besari (1800-1862). Semenjak wafatnya, Tegalsari mengalami kemunduran walaupun masih tetap bertahan hingga saat ini.Pada pertengahan abad ke-19, Tegalsari dipimpin Kiai Cholifah. Salah seorang santrinya yang cerdas dan baik yaitu R.M.H Sulaiman Jamalludin yang kemudian dijodohkan dengan dengan putri Kyai Cholifah.R.M.H Jamalludin yang cucu dari Pangeran Hadiraja Sultan Kasepuhan Cirebon, diberi amanat untuk mendirikan pondok di sebuah desa, 3 km sebelah timur Pondok Tegalsari. Bersama 40 santri yang dibekalkan kepadanya, Jamalludin melakukan babad desa. Maklumlah kawasan yang dibuka itu adalah wilayah tak bertuan, lebat oleh pepohonan dan dihuni binatang liar. Kawasan itu sebelumnya dikenal sebagai sarang penyamun. Dalam bahasa Jawa, tempat itu disebut enggon kotor atau tempat kotor.

Dari nama inilah, muncul nama Gontor. Di tempat inilah Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari. Dengan 40 santri yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya, maka berangkatlah rombongan tersebut menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok Gontor.

Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut; kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi. Jumlah santri hanya tinggal sedikit dan mereka belajar di sebuah masjid kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun Pondok Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kyai Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa Gontor. Ia tetap menjadi figur dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di desa Gontor dan sekitarnya. Dalam usia yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso dipanggil Allah SWT.
Dengan wafatnya Kyai Santoso ini, masa kejayaan Pondok Gontor Lama benar-benar sirna. Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok. Yang tinggal hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan Masjid tua warisan nenek moyangnya.
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Gontor yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu.
Beliau wafat saat ketiga puteranya masih dalam masa belajar.Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang sebelumnya taat beragama tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka berubah menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama. Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan), madat (menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Pondok yang didirikan oleh Sulaiman Jamalludin ini berkembang pesat hingga generasi ketiga saat dipimpin oleh Kiai Santoso Anom Besari. Selanjutnya berbekal tekad bulat dan tanggung jawab melanjutkan perjuangan menegakkan agama, Ahmad Sahal, Zainuddin Fanani dan Imam Zarkasyi membangun kembali Pondok Gontor warisan orang tuanya itu.Undangan Raja Saud dari Arab Saudi kepada para pemimpin Islam di Indonesia untuk menghadiri Konferensi Umat Islam sedunia di Mekah pada 1926, juga menjadi salah satu pemicu pendirian Gontor.
Pertemuan para pemimpin umat dan tokoh Islam di Surabaya untuk menentukan kualifikasi utusan dari Indonesia yaitu mahir berbahasa Arab dan Inggris ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Akhirnya disepakati mengirim dua orang utusan yang ahli berbahasa Inggris yaitu HOS Cokroaminoto dan satunya lagi K.H. Mas Mansur yang mahir berbahasa Arab. Tahun itu juga, sepulang dari Mekkah, HOS Cokroaminoto menyampaikan pidato berisi ide-ide kebangkitan dunia Islam pada Konggres Umat Islam di Surabaya. Ide-ide yang disampaikannya adalah buah pemikiran tokoh pembaharu Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.Kesan pertemuan ini membekas pada pemuda Ahmad Sahal yang hadir pada pertemuan itu yang kemudian mendiskusikannya bersama kedua adiknya yaitu Zainuddin Fannani dan Imam Zarkasyi. Mereka kemudian mengambil langkah kongkret dengan mendirikan Tarbiyat al Athfal (pendidikan anak-anak) di Gontor.
Tarbiyat al Athfal mengajarkan materi-materi dasar agama Islam, bimbingan akhlak, kesenian, dan pengetahuan umum sesuai tingkat kebutuhan masyarakat saat itu. Di samping itu diajarkan pula cara bercocok tanam, beternak, pertukangan, bertenun dan berorganisasi.Kegiatan pendidikan di Gontor itu menarik orang-orang dari luar desa berdatangan. Karena minat yang besar dari masyarakat, Tarbiyat al Athfal membuka cabang di desa-desa sekitar Gontor. Beberapa Tarbiyat al Athfal lantas bergabung membentuk Tarbiyat al Islam (pendidikan Islam) dengan masa belajar 6 tahun. Setelah menamatkan muridnya yang pertama, dibukalah program lanjutan bernama Sullam Al Muta’allimin (Tangga Para Pelajar) yang berlangsung hingga tahun 1936. Tingkatan ini mengajarkan ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, terjemah Al-Quran secara lebih luas dan dalam. Santri juga diajari cara berpidato, cara membahas suatu persoalan, ilmu Jiwa dan Psikologi dan mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler berupa ketrampilan, olahraga, kesenian dan berorganisasi.
Pada peringatan satu dasawarsa Pondok tanggal 19 Desember 1936, diperkenalkan sebutan modern untuk Pondok Gontor. Sejak itu, nama lengkap pondok menjadi Pondok Modern Darussalam Gontor. Pada peringatan itu pula diresmikan berdirinya sistem pendidikan baru bernama Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamiyah (KMI atau Sekolah Pendidikan Guru Islam). Sistem KMI ini mengganti sistem Tarbiyat al Athfal maupun Tarbiyat al Islam. Inilah sistem pendidikan pesantren modern yang berbeda dengan sistem pondok pesantren tradisional yang berlaku umum saat itu. Santri belajar dengan sistem klasikal layaknya yang berlaku di madrasah. Selain mendapat pelajaran agama dan umum, bahasa pengantar pembelajaran dan bahasa pergaulan santri wajib memakai bahasa Arab dan Inggris. Di belakang hari, sistem KMI ini dicontoh dan ditiru oleh Pondok Pesantren Darunnajah dengan nama TMI (Tarbiyatul Muallimin/at al Islamiyah). Pada tahun 1963 Pondok Gontor mendirikan Institut Studi Islam Darussalam (ISID).dan Pada tahun 1994 didirikan pondok khusus putri untuk tingkat KMI dan pendidikan tinggi yang khusus menerima alumni KMI. Pondok khusus putri ini menempati tanah wakaf seluas 187 hektar. Terletak di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Kini, pondok khusus putri memiliki lima cabang, tiga cabang berlokasi di Ngawi, satu cabang di Sulawesi Tenggara dan satu di Kediri. Hingga kini gontor telah memiliki 17 cabang yang terdiri dari 13 kampus di seluruh Indonesia dan santri/ santriwatinya mencapai 14.273 orang. Tidak seperti pesantren pada umumnya, para pengajarnya pun berdasi dan bercelana panjang pantalon. Itulah Pondok Pesantren Gontor yang fenomenal, yang dibangun berkat kerja keras, kegigihan seorang ibu (Nyai Santoso) untuk mendidik putra-putrinya, dan tentu saja semuanya berjalan atas kehendak Allah Subhanahu wata’ala. (diolah dari berbagai sumber) (HFD-Sangkalala)


0 komentar:

Posting Komentar

berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)