Jumat, 02 Mei 2014

ARSITEKTUR DAN BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT JAWA

Oleh: Dr. Ir. Arya Ronald

Kebudayaan Jawa sebagai sebuah wawasan menunjukkan bahwa masyarakat Jawa memiliki satu bentuk pandangan hidup yang cukup matang, hal itu ditandai dengan aneka kepercayaan yang mereka anut, aneka pengetahuan atau keilmuan yang diserap, kehidupan yang penuh dengan etika dan nilai estetika yang berpola sangat mendasar. Salah satu bentuk pandangan hidup yang dapat diterangkan secara panjang lebar adalah faham kejawen, yang hidup di antara kepercayaan dan agama yang berkembang saat itu. Sebagai sebuah faham, maka faham inipun mempunyai bentuk ajaran yang cukup mantap, antara lain dalam filsafat kosmologi Jawa, yang mampu mengawali perkembangan teologi di kemudian hari. Pada masa kejayaannya, faham ini berkembang dan telah begitu mengakar dalam sebagian besar hidup berbudaya mereka, sehingga sampai saat inipun faham itu masih banyak dijumpai berada dalam kehidupan masyarakat Jawa. Kalau faham ini cenderung muncul dalam ungkapan yang dipergunakan dalam rangka berkomunikasi dengan pihak lain atau berbahasa, salah satu bentuk bahasa yang lain yaitu bahasa non-verbal, terungkap dalam karya mereka yaitu rumah tinggal – sebagai salah satu karya arsitektur mereka.
           
Dalem Bupati Juru Kunci Puralaya, Imogiri
Arsitektur sebagai salah satu hasil karya budaya masyarakat Jawa – seperti yang telah dinyatakan sebelum ini, mengandung beberapa prinsip yaitu ungkapan fungsional, estetika dan susunan detil konstruksi. Dalam kenyataan yang dapat diketemukan dalam artefak yang mereka tinggalkan dari sejak jaman lalu, terlihat bahwa baik ungkapan fungsional, estetika maupun konstruksi erat hubungannya dengan pola pikir dan perilaku mereka, yang banyak mengacu pada faham kejawen sebagai landasan filsafat kosmologinya. Seperti dapat dilihat pada sebuah bangunan rumah tinggal jabatan Bupati Juru Kunci Puralaya di Imogiri, yang dalam gaya, sifat maupun kegunaan bangunannya memperlihatkan peran, status dan kedudukannya sebagai pelayan keraton (abdi dalem), yang berkewajiban menerima Sultan bersama keluarganya sebelum meneruskan perjalanan berziarah ke makam raja-raja di bukit Imogiri dan juga mengayomi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Semisal dalam sebuah ungkapan Jawa ‘manunggaling kawula lan gusti’, memberikan indikasi cukup kuat bahwa existensi seseorang (dalam gambar ditunjukkan contoh rumah jabatan Juru Kunci makam raja-raja di Imogiri, Bantul, DIY) berada menyatu dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih besar yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sehingga terbentuklah suatu keseimbangan bernilai universal. Ungkapan semacam itu pada awalnya merupakan suatu ajaran atau nasehat (pitutur), namun ternyata dapat diterjemahkan atau ditransformasikan ke dalam aneka bentukan – baik yang tampak (tengible) maupun tidak tampak (intengible). Salah satu bentuk yang tampak adalah perujudan arsitektur rumah Jawa, terdiri dari beberapa bangunan yaitu Topengan, Pendhapa, Pringgitan, Dalem Ageng, Andong Sekar, Gedhong Abang, Gedhong Kanthil, Pawetan, Patehan, Paseban, Gedhong Gangsa dan Regol. Kalau ungkapan itu sebuah ajaran, maka demikian pula halnya dengan arsitektur rumah Jawa – dengan penamaan dan pembedaan fungsi tiap bangunan, dapat mereflexikan keberadaannya menjadi suatu bentuk ajaran pula. Ajaran itu khususnya ditujukan kepada penghuninya dan secara umum kepada pihak lain yang berhubungan sosial dan budaya dengan penghuni rumah ini.
            Arsitektur sebagai sebuah karya budaya dapat menempatkan diri menjadi salah satu bagian dari unsur kebudayaan Jawa – yang terdiri dari bahasa, sistem kepercayaan, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pengetahuan, teknologi dan kesenian. Bilamana diarahkan kedudukan rumah Jawa dalam kajian kebendaan, maka objek itu dekat dengan unsur teknologi dan kesenian (seni bangunan), namun seperti telah disinggung sebelum ini bahwa ternyata unsur kebudayaan Jawa yang lain juga melekat pada rumah itu, seperti halnya faham kosmologi yang kadang-kala meningkat menjadi sebuah kepercayaan, bahasa arsitektur, status sosial penghuni, derajat ekonomi penghuni dan kapasitas seseorang dalam pengembangan ilmu dan teknologi di kalangan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Dalam hal demikian ini keberadaan arsitektur rumah Jawa dapat dijadikan acuan yang cukup berbobot untuk mengenal manusia dan masyarakat Jawa seutuhnya – baik dalam aras peran, kekuasaan maupun kekuatannya, yang terjadi dalam lingkup kehidupan budaya Jawa.
Pembangunan rumah tinggal di mana dan kapanpun merupakan masalah hidup utama, sebab rumah merupakan salah satu dari tuntutan kebutuhan utama manusia. Masalah kebutuhan utama hidup manusia yang difahami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa khususnya adalah pangan, sandang dan papan; yang terakhir yaitu papan diterima secara sempit sebagai tempat tinggal atau rumah, meskipun secara lebih luas lagi dapat berarti bahwa semua tempat yang akan dipergunakan untuk tinggal manusia - baik dalam waktu singkat maupun lama – adalah papan yang dipungut dari istilah Jawa papan dan mapan (mantab atau stabil). Dengan pemahaman ini dapat ditafsirkan sementara bahwa masyarakat ini selalu berusaha untuk hidup dan menetap lebih matab dalam waktu yang lama, sehingga diungkapkan kemudian dengan istilah kerasan atau dapat bertahan lama. Agar supaya kehidupan itu menjadi stabil, maka hubungan satu dengan lain anggota masyarakat harus sampai ke tingkat akrab, saling memperhatikan, bahkan juga saling tolong-menolong atau gotong-royong – seperti terlihat pada upaya mereka membangun rumah, yang pada dasarnya selalu mendapat bantuan dari tenaga para tetangga di sekitarnya. Kejadian itu terdapat dalam gambar pembangunan rumah yang ditemukan di sebuah desa Wilangan, Kecamatan Tamansari, Ponorogo.
Belum lagi, ternyata bahwa pembangunan rumah tinggal itu sendiri saat ini tidak lagi sama dengan pada masa yang lalu. Seperti terlihat dalam gambar contoh ini, bahwa rumah itu dikerjakan oleh para tetangga di sekitarnya – kalau di pedesaan, sedang kalau di perkotaan kebanyakan sudah diserahkan begitu saja kepada pemborong bangunan secara profesional. Bagi generasi lampau pembangunan dipandang sebagai proses mendirikan rumah yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang, mulai dari perencanaan sampai dengan mewujudkan bangunan itu, sedangkan sekarang pembangunan dapat dianggap suatu kegiatan yang tidak perlu dilakukan sendiri oleh calon penghuninya. Dengan demikian, masalah yang berkaitan dengan pembangunan rumah telah bergeser dari tanggung-jawab keluarga menjadi tanggung-jawab umum atau bahkan pihak pemerintah.
            Bagi manusia Jawa rumah adalah bagian dari kehidupan budaya, yang pada masa yang lalu merupakan bayangan cermin dari kepribadian manusianya, yang sebagian dapat dilihat dari penampakan luarnya - namun dengan mempelajari bagian-bagian dari rumah dapatlah segera diketahui nilai kepribadian manusia yang melatar-belakangi kehadiran rumah dalam lingkungan permukiman itu. Dari kedua sisi itu yaitu kebudayaan dan kepribadian, masing-masing dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsurnya, yang artinya bilamana dicari rumusan yang berkaitan dengan kebutuhan manusia akan rumah tinggal yang timbul dari persilangan itu, dapatlah segera difahami bahwa ternyata keberadaan rumah bagi tiap individu yang bergabung dalam sebuah rumah tangga mengandung banyak sekali pertimbangan. Unsur kebudayaan itu adalah: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian hidup, religi atau kehidupan beragama atau berkepercayaan dan kesenian.[1] Unsur kepribadian adalah: pengalaman melakukan hubungan antar manusia, sistem nilai, pola pikir, sikap hidup, perilaku hidup dan kaidah hidup. Bilamana kedua unsur itu dipersilangkan, seharusnya akan muncul sebuah karya dari hasil berbudi daya, sekaligus karya itu akan memancarkan sinar kepribadian dari pemilik atau penghuninya.
             Beberapa aspek yang akan mempengaruhi proses pembangunan rumah tinggal - baik pada masa yang lalu, maupun sekarang - perlu difahami perubahan pengaruhnya, mengingat bahwa dengan aspek yang sama ternyata menghasilkan existensi rumah tinggal yang berbeda. Dengan memahami proses pembangunan rumah tinggal dan kaitannya dengan kehidupan budaya dan perkembangan kepribadiannya dapat dibayangkan bahwa pembangunan rumah seharusnya dari waktu ke waktu akan selalu mengalami perubahan, baik itu dipengaruhi oleh tuntutan dari dalam maupun tantangan dari luar. Kalau yang mempengaruhi proses itu masih dalam lingkup kebudayaan dan kepribadian saja, maka tuntutan dari luar dan dari dalam telah cukup untuk melakukan berbagai perubahan dalam proses pembangunan rumah. Yang perlu dikhawatirkan adalah bilamana pembangunan itu tidak lagi memiliki landasan kebudayaan, apalagi kalau itu semua dilakukan dengan mengabaikan kepribadian yang seharusnya melekat pada diri orang yang berkepentingan membuat rumahnya sendiri.
Pembangunan rumah secara gotong-royong
Dengan demikian telah menjadi satu kenyataan, bahwa terdapat pergeseran pola dari tanggung-jawab keluarga menjadi tanggung-jawab umum. Salah satu aspek dari masing-masing sisi yang dapat dipastikan mempengaruhi proses ini adalah sistem pengetahuan dari sisi kebudayaan dan pola pikir dari sisi kepribadian, telah cukup untuk merubah proses itu. Secara umum, keduanya telah bertolak dari alam kehidupan tradisional yang statik – menurut pendapat orang yang anti tradisi - menuju pada kenyataan global yang dinamik.



[1] Koentjaraningrat, 1979, Pengantar Ilmu Antropologi

0 komentar:

Posting Komentar

berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)