Jumat, 25 April 2014

FOKUS KEISTIMEWAAN DIY BUKAN PADA PENETAPAN ATAU PEMILIHANNYA



Gotong Royong sebagai inti Filsafat Pancasila itu bukan hanya milik kita (Bangsa Indonesia). Dunia juga mengenalnya dengan baik, sebagaimana dipaparkan oleh Filsafat Organisme yang juga dikenal sebagai Filsafat Proses. Kesatuan organis yang terus menerus berproses itu akan mencapai titik akhirnya pada momentum Apotheosisme yakni rekonsiliasi awal-akhir lahir Batin yang oleh bangsa kita terungkap dengan jelas pada pernyataan Tuhan seru sekalian Alam atau pada ekspresi “Tuhan”, seru sekalian Alam.

Filsafat proses/ Filsafat Organisme itu mengenal Tuhan sebagai “Entitas paling aktual, namun non-temporal” dengan kedua kutub sifat hakikinya yakni “Pamoring Kawula-Gusti” serta “Sangkan Paraning Dumadi”, bukannya dalam arti Monisme atau Pantheisme, melainkan sesuai dengan ajaran Mono-pan-Theisme atau Pan-en-Theisme.

Negara itu adalah makhluk jadian; maka terdapatlah istilah “kepala” Negara beserta dengan perlengkapan “kaki” “tangannya”. Diantara organ tubuh manusia itu terdapat suatu organ tubuh yang istimewa yakni jantung, hati atau qolbu, sehingga agama di sisi-Nya mengungkapkan dalil  “qolbunya orang beriman/mukmin itu BAITULLAH”; itulah sebabnya maka manakala disebut nama Tuhan, bergetarlah hatinya. Itulah momentum DUMELING sekaligus DUMILAH. Itulah yang terjadi pada Nabi pada peristiwa Nuzulul Qur’an serta Lailatul Qodar.

Mereka yang belum menyempurnakan rukun Islam lakunya menambah jumlah umurnya; namun setelah ibadah haji seharusnya menumbuhkan kesadaran perihal berkurangnya jatah umur berkat laku thawaf yang gerakannya anti jarum jam, artinya jatah usianya menjadi berkurang dan berkurang. Akhirnya berhentilah momentum IMBAL WACANA, dari Nyadhong Dhawuh ke Sendika DHAWUH. Maka perlu sekali orang memahami secara betul hakikat kematian, bukannya fenomena berhentinya degup jantung, hembusan nafas terakhirnya melainkan pada laku Olah ATI, ng-ATI bahkan M-ATI/ qiyamat “Jumenengan”.
Suatu fenomena yang menarik ialah berat ringannya jisim di saat kematian; orang yang jasadnya terasa berat ketika diangkat dibanding yang terasa ringan, lebih-lebih yang “berjalan” sendiri karena yang takziah memenuhi jalan dari rumah duka sampai ke tempat peristirahatan akhir, menghantarkan orang pada laku MOKSA. Subhanal-Lah bangsa kita dibekali dengan kesatuan informatif “KAMA, HARTA, DHARMA, MOKSA”. Hal itu juga sejalan dengan personofikasinya “ilmu Mentanegara” berikut liturgi NA-TA-NA-GA-RA.
Juga tidak kalah menariknya perihal kesesuaian nama-nama Kepala Negara RI dengan liturgi tersebut. Sementara itu perlu diingat bahwa kita memiliki 3 unggulan kultural berkualitas “global cultural heritage”, yakni Candi Borobudur, Keris dan Wayang Purwa. Kita termasuk bangsa yang suka belajar serta memahami hakikat keterpelajaran sebagaimana ungkapan “Non scholae sed vitae discimus”, karenanya mampu membuat garis pemisah antara tontonan dan tuntunan. Pada pertunjukan wayang purwa misalnya garis pemisah itu ialah momentum GARA-GARA yakni munculnya wulu-cumbu sebagai lambang kearifan lokal di tengah-tengah kajian induk Ramayana tentang libido sexualis, serta Maha-Barata tentang libido mortalis, ditandai dengan tegaknya kayon atau gunungan di tengah perkeliran.
Primadona pada Ramayana adalah kera putih lambang sperma dengan pertapaannya di daerah Ungaran, yakni Kendalisada. Dialah yang menjaga sosok Dasamuka yang ditindih Gunung Sumawana yang berarti “ora wurung” yakni Kama Dadi, bukan Kama Salah Tetes, yakni Bathara Kala, lambang pemaknaan yang salah terhadap makna waktu. Pada lakon Ruwatan, ketika Bathara Kala dihantam GADA INTEN atau lebih tepatnya “Sarung Gada Inten” sebagai lambang TAUHID maka Bathara Kala pun pecah berkeping-keping berupa Kala-bang, Kala-jeng-king, Kala-sundep, serta KALA LASO, yang menjerat dunia ke dalam Olah Pasar, gaya konsumptivisme/konsumerisme.
Akhir-akhir ini muncul fenomena budaya yang mengganggu, yang salah tapi kaprah; misalnya term “cewek/cawik”, “cowok”, yang menggeser kata yang penuh makna, yakni PEREMPUAN (yang bertugas menjaga pulau, empu-laut, sementara para pria melaut berguru pada sosok misterius, yakni Khidir a.s. yang dalam pustaka Jawa identik dengan sosok Dewa Ruci, jati-diri tokoh BIMA.
Contoh fenomena lainnya ialah diperebutkannya air kotor, bekas air siraman kereta kencana kendaraan Ingkang Sinuhun (Surakarta)/Sinuwun (Yogyakarta) padahal yang diperebutkan itu semestinya justru sisa AIR BERSIH. Air kotor itu uang pinjaman, sedangkan AIR BERSIH itu infaq, shodaqoh, zakat mal, dan zakat fitrah.
Mengapa kita mengabaikan kisah lama padahal kisah tersebut penuh makna ketika Pulau Jawa diperintah oleh tokoh kanibalis, Dewata Cengkar, kebalikan dari tuntunan cahaya, yang oleh AJI SAKA berkat kibasan/kebutan udhengnya lalu masuk ke laut dan kembali ke aslinya sebagai “Buaya Putih?” Bukankah kita itu terpelajar berkat sekolah-sekolah orang kulit putih, namun kita baru mem-fotocopy permukaannya?
Kereta rel KA memotong sumbu imaginer A-U-M (Agni-Udaka-Maruta) maka tampillah P.Diponagoro yang memakai nama resmi Sultan Abdul Hamid HERU CAKRA, yang mengedepankan ketetapan hati (MANAH/HRU; Cakra=bulat). Suatu ilmu yang sebagai suatu disiplin memberlakukan rumus yang mendekati taqdir/ketentuan di sisi-Nya namun yang pada umumnya disalah fahami kebanyakan umat ialah iman kepada “taqdir”; misalnya seseorang ditaqdirkan kaya, sementara orang lain miskin; yang seperti itu rahasia ditangan-Nya. Kalau seseorang kaya namun kekayaannya tidak menjeratnya dari zakat fitrah, zakat mal, infaq, dan shodaqoh, maka orang seperti itulah yang faham atas laku agung “meninggalkan dunia” sebelum meninggal dunia, malah menjadi “hantu” kehidupan.
Keistimewaan Yogyakarta berkenaan dengan analoginya dengan MATI-nya Indonesia, yang oleh kepekaan ke-latif-annya mampu menyelaraskannya dengan “degup jantung” kehidupan yang terus-menerus menyeru nama-NYA (“Tuhan” seru sekalian alam; bukankah menurut tuntunan agama, hati seorang mukmin itu bergetar ketika mendengar NAMA-NYA diserukan? Bukankah alam ini justru terus-menerus menyeru nama-NYA?
Fokus keistimewaan DIY terletak pada konsekuensi Olah PANAH/MANAH terhadap ajaran NING-RAT/sadar kosmis yang tidak feodal, atau kadar ketetapan hati yang bulat penuh sebagaimana yang tersirat di balik nama HERU CAKRA ataupun HAMENGKU BUWANA:
 “Lakunya, metodenya, bukannya penjumlahan,
perkalian atau pemangkatan, melainkan
PEMBAGIAN 0/nol:
Bilangan berapapun kapan
serta dimanapun kalau dibagi nol
hasilnya justru infinitum/
tak terhingga."

Maka P. Senapati menitipkan nDHOG JAGAD pada Kyahi SAPU-JAGAD
“Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kecuali
yang BERKATA; Selanjutnya tidak punya
apa-apa, termasuk tidak punya RASA PUNYA
(Mulih Pulih Sangkan Paraning Dumadi/Pamoring Kawulo-Gusti)
 



(Almarhum.)Prof. Dr. Damardjati Supadjar
Guru Besar Fakultas Filsafat UGM

0 komentar:

Posting Komentar

berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)