Kamis, 24 April 2014


CANDOLENG-DOLENG

 
Rahmi, begitulah orang tuaku memberiku nama delapan belas tahun silam. Namun lucunya, mereka sama sekali tak mengerti apa arti nama itu. Ketika SD aku pernah bertanya tentang arti nama itu. Ibuku menjawab bahwa sebenarnya nama itu diambil dari nama bidan yang membantu persalinan ibu dulu. 
“ Bidan Rahmi itu cantik dan baik sekali orangnya. Ibu berharap kelak kamu bisa seperti dia,” jelas  Ibu tersenyum sambil melipat pakaian. Oh…ternyata begitu ya? Namun karena belum puas dan masih penasaran juga, maka kuberanikan diri menanyakan lagi arti namaku pada Bu Azisah, Guru Agama di sekolahku.
“ Oh….Rahmi itu, kalau tidak salah, sama juga artinya dengan Rahman; salah satu sifat Allah, Swt.  Maha Pengasih, Maha Penyanyang …. Pokoknya namamu ini bagus, nak! Dekat dengan kebaikan… orang tuamu pastilah menginginkan sesuatu yang baik selalu mengiringi kehidupanmu,” Bu Azisah menjelaskan secara terperinci. Penjelasan yang bagus dan aku puas.
            Ternyata namaku mengandung makna yang dalam, …. Suatu kebaikan. Aku senang dengan penjelasan Bu Azisah. Tak salah aku memilih beliau sebagai guru favorit, selain cantik, baik dan lembut…dia juga pintar mengajar. Hal itu kemudian mengilhamiku untuk menjadi guru jika besar nanti. Alangkah lugu dan naifnya masa kanak – kanak, begitu banyak keinginan dan gampang pula merubahnya seketika. Padahal sebelumnya aku bercita-cita menjadi bidan seperti  bidan Rahmi sesuai mimpi ibuku.
            Namun tragisnya ,…. tanpa disangka sepuluh tahun kemudian impian itu seperti mengabur. Menginjak tahun pertama bangku menengah keadaan ekonomi kelurgaku merosot. Ayahku yang berprofesi sebagai kontraktor  tiba-tiba terserang  Stroke, lumpuh tak berdaya di kursi roda. Segala proyek dan tendernya lepas, pindah tangan. Sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ibu mencoba melanjutkan usaha keluarga turun temurun yaitu jual beras di pasar.
Sebenarnya hasil jualan itu cukuplah buat makan, namun karena dua orang abangku sedang kuliah dan terlanjur kuliah sebelum musibah datang, ibu memilih untuk terus membiayai studi mereka.  Mobil pribadi kami pun terpaksa berganti plat, dari plat hitam menjadi plat kuning agar jadi tambahan, namun belakangan mobil itu pun lebih sering masuk bengkel daripada memberi  inkam. Kami pun memutuskan untuk menjualnya.
            Begitulah keadannya berkembang. Ibuku jadi sering marah-marah. Sedikit – sedikit ngomel, sedikit – sedikit  membentak. Aku sering merasa tak tahan.
“ Kamu ini taunya minta uang saja! Apa kamu tidak lihat, ibu sekarang cari uang sendiri, Ayahmu lumpuh! Sudah buta kamu?!” 
Aku sungguh tak tahan jika mendengar ibuku ngomel seperti itu, persis seperti Eminem penyanyi Rap idolaku. Rasanya ingin lari saja dari tempat itu. Padahal yang kuminta itu terhitung masih wajar, bukan uang buat jajan, tapi untuk bayar uang sekolah yang sudah nunggak tiga bulan.
            “Lalu Saya harus bilang apa, Bu …. sama gurunya? Maluu… cuma Saya satu-satunya anak yang belum lunas bukunya di sekolah itu,”
            “Kamu berhenti sekolah saja! Ibu sudah pusing. Kamu tau tidak, abangmu minta duit lagi dua juta! “ balas Ibu tanpa berani melirik wajahku sedikit pun. Aku tahu sebenarnya ia pun tak tega mengeluarkan perintah itu kalau tak terpaksa.
            “Sana pulang ke rumah dulu, ayahmu belum makan dari siang…” tambahnya. Ya ampun, aku melirik jam tanganku , ini sudah jam empat sore, …. dan Ayahku belum makan!?. Pastilah karena Ibu sibuk di pasar, tak sempat pulang ke rumah. Hhhhh….ini sungguh menyedihkan, aku setengah berlari menuju rumah. Takut terjadi sesuatu pada ayahku.
AKU BENCI HIDUP! Jika kekesedihan tiba-tiba menjepit seperti ini, rasanya aku ingin mati saja.Untunglah, di tengah keadaan yang serba sulit seperti itu, ….. Tari selalu ada. Tari adalah kawan baikku. Kami satu sekolah. Baru bertemu langsung merasa akrab.  Ia kerap membantu keuanganku, terutama uang sekolah. Tak terhitung pula berapa uang yang telah ia keluarkan untuk sekedar mentraktirku makan. Aku sampai merasa tak punya wajah lagi di hadapannya. Untungnya ia sangat  pengertian dan baik hati. “ Rahmi kalau kamu malu aku traktir terus, kamu boleh kok menganggap semua ini utang! ..kelak jika punya uang banyak, kamu balikin! “ ujarnya mencoba memulihkan harga diriku yang gak jelas lagi harganya tinggal berapa.
            Hhhh…entahlah,….aku tak tahu harus berkata apalagi. Kenyataan ‘bahwa orang yang benar-benar baik dan tulus di dunia itu memang ada’ selalu membuatku merasa Tuhan tak pernah jauh. Aku juga selalu mengingat pesan Bu Azisah dulu,…katanya ‘Orang baik tak akan kelaparan di dunia ini, karena Allah akan selalu memberinya makan. Jadi, teruslah berbuat baik dan jangan lupa berusaha”.
            ‘BERUSAHA’ kata yang terakhir itu terus menghantuiku. Aku memang harus berusaha, berbuat sesuatu. Tak mungkinlah aku mengandalkan bantuan Tari terus-menerus. Aku harus bangkit, aku harus mencari jalan agar bisa keluar dari labirin penderitaan ini. Aku tak tahan lagi. Sementara untuk menunggu abangku lulus  kuliah dan sukses sepertinya masih lama. Aku menghela napas ……, akhirnya aku mengambil keputusan itu. Keputusan untuk menjadi penyanyi Candoleng – doleng.
Candoleng-doleng adalah Sebuah sebutan bagi biduanita di daerah Sulawesi dan sekitarnya. Profesi ini dipandang negatif oleh sebagian besar masyarakat karena Biduanita bernyanyi dengan memakai busana minim sambil menari erotis diiringi organ tunggal. Kaum pria sangat menggemarinya. Biasanya pertunjukan itu digelar di pesta kawinan. Kontanlah banyak warga yang merasa resah karena kadang anak-anak dan suami mereka ikut menyaksikan. Mereka minta aparat keamanan segera menertibkannya. Namun tetap saja  bisnis pertunjukan itu bisa mencuri-curi untuk tetap tampil terutama di pelosok desa atau kampung. Tapi dibanding dulu, sekarang ini penyanyi Candoleng-doleng memang tak  seheboh dulu. Jumlahnya tinggal sedikit. DAN AKU ADALAH SATU DARI YANG SEDIKIT ITU. Sedih yah? Bersama Tari aku roadshow ke berbagai tempat. Biasanya kami hanya mengambil job di akhir pekan, hingga tak mengganggu sekolah. Awalnya aku merasa canggung karena tak biasa, namun dengan sabar  Tari membimbingku. “ Kamu ini masih malu-malu saja! Anggap aja agak ada orang di depanmu! “ nasehatnya selalu. Lama-lama aku pun terbiasa. Bahkan kemudian aku menjadi maskot pertunjukan. Kuakui kualitas suaraku tak semerdu biduanita lain, namun goyanganku…kata orang maut!
Sungguh! Segalanya berjalan indah, dosa terasa berada di urutan  kedua, dan uang adalah pemenangnya. Pundi-pundi keuanganku pun menebal. Berkat kerja keras dan keprofesionalanku, ada seorang produser lokal yang mau mengajakku rekaman , namun kutolak.  Aku tak mau wajahku terpampang di mana-mana. Sedapat mungkin aku tetap ingin menjaga nama keluarga besarku.  Untunglah selama ini aku tak pernah menggunakan nama asliku.
            Ayahku tak tahu menahu mengenai hal ini. Sekuat tenaga aku menyembunyikannya. Ibu dan abang-abangku juga kuminta untuk tutup mulut jika ingin ekonomi keluarga terus tertopang olehku. Kadang terasa aku ingin off saja dan menjadi penyanyi biasa, namun jika ingat pendapatannya lebih sedikit, aku urungkan niat itu. Biar saja dulu, inilah caraku dalam mengumpulkan uang banyak. Walaupun aku tau Ayah paling benci penari Candoleng- doleng! Jika tau aku pasti dibunuhnya atau diusir. Tak diakui lagi sebagai anaknya.
            Suatu ketika aku kaget setengah mati ketika tanpa disangka Ayah menanyakan itu padaku, rupanya ia pernah mendengar sepintas lalu orang membicarakanku di balik jendela. Ia tak sengaja mendengar informasi itu. Bibirku tiba-tiba tercekat, entah harus menjawab apa. Selama ini aku sebenarnya diam-diam bersyukur juga ayahku menderita lumpuh dan bukan yang sakit lainnya, hingga tak bisa mengunjungi tempatku beraksi dan berinteraksi lebih dengan orang lain. Rasa syukur  yang aneh yah? …… maafkan anakmu yah.
            “ Ah itu bohong, Yah! Jangan dengar kata mereka . Aku memang penyanyi tapi bukan penyanyi Candoleng-doleng! Mana mau aku begitu……, ayah harus percaya padaku!” ujarku meyakinkan, walau dalam hati menangis karena  telah membohongi ayah sendiri. Untuk pertamakali Aku melihat ayah mengeluarkan air setetes air di sudut matanya. “ Sungguh yah, nak. Kamu gak bohong ! kamu tau penyanyi Candoleng-doleng itu seronok sekali. Ayah takut Allah akan melaknat kita. Kamu puteri kami satu-satunya, ……. gak apa-apa jadi penyanyi, tapi jangan Candoleng-doleng….! Memang penyanyi biasa gajinya sedikit, tapi itu tak masalah asalkan berkah. Untuk apa dapat uang banyak kalau tak halal? Semoga kamu masih mau mendengar nasihat ayahmu yang lumpuh ini. Seorang ayah yang tak bisa lagi memberimu apa-apa selain nasihat baik. Maafkan ayah ... yah, gara-gara sakit ini kamu terpaksa jadi tulang punggung keluarga, “ Aku pun menghambur memeluknya.  Kasihan Ayahku….., lemah tak berdaya.
            Ibu pun tak kurang menasehatiku tiap ada waktu, “ Nak apa tak ada pekerjaan lain yang bisa kamu kerjakan?” terlihat gurat cemas di wajahnya. “ Ibu tak tahan mendengar gunjingan tetangga. Ibu juga khawatir….. nanti tak ada pria baik-baik yang mau menyuntingmu,”
“ Tapi mau kerja apalagi, Bu??...Pelacur…atau jaga toko? Berapa gajinya Bu? Gak akan cukup. Lagipula aku harus sekolah. Hanya ini pekerjaan yang sesuai untukku ” balasku sedikit kesal. “ Gak usah dengar kata orang! aku juga tak akan begini terus,…. Ini hanya sementara. Ibu kan tau kalau aku jadi penyanyi biasa, pemilik organ akan jarang memakaiku. Jadi sabarlah…ini hanya sementara, moga abangku cepat lulus yah”. Ibu pun memelukku sambil menangis, “ Maaf yah! Maafkan kami tak bisa membahagiakanmu ..tak bisa menjagamu…..,”.
            “ Dahlah, Bu! aku harus berangkat! Tari sudah menungguku. Hari ini kami manggung di Pare-Pare, besok subuh pulang! “ kataku sambil membenahi koper. Ibu diam saja. Kasihan juga melihat Ibu, wajahnya bertambah tua saja kelihatannya karena masalah.  Terbayang  dulu ibu rajin ke salon, sekarang… alamat salon itu aja dia pasti sudah lupa!
            Rombongan Kami biasa berangkat dengan menumpang mobil Pick up. Bersama Kami terguncan-guncang di atas Pick up. Kadang aku melamun, ingat keluargaku terutama wajah Ibu dan Ayah. “ Kenapa…, Mi? “ tegur Tari. Gelapnya malam rupanya tak mampu menyembunyikan wajahku yang mashgul. “ Entah mengapa tiba- tiba aku ingat Ayahku. Aku ingat perkataannya beberapa bulan lalu ,” jawabku tanpa gairah. “ Ucapan Ayahmu yang mana?” selidik Tari. “ Ayahku bilang, Candoleng-doleng itu tak baik. Kurasa aku akan mencari pekerjaan lain, Tar. Aku takut, ”
“ Takut apa?” suara Tari pun mulai tak sekeras tadi seperti mulai menyelami pikiranku. “ Takut mendapat Adzab, takut dilaknat! Kamu tau, pekerjaan kita ini menyuburkan pornografi. Kita ikut membuat orang lain tersesat. Pasti itu salah satu alasan orang tuaku juga melarang pekerjaan ini.”
            “ Ya Allah! Astagfirullah ….., Naudzubillah mindzlaik . Jangan bicara begitu, ah!“ Tari menggeser  lalu menggeser duduknya lebih dekat padaku. Ramai beberapa biduan dan biduanita lain serta crew organ tunggal berbincang di sekitar kami membahas masalah mereka sendiri-sendiri. Sama seperti kami yang tak peduli , mereka pun tak peduli obrolan kami.
 “ Ini memang berdosa, Mi. Tapi kan kita terpaksa melakukannya. Lagipula  Tuhan pasti mengerti. Kalau mau protes, proteslah pada penguasa…karena mereka  kita jadi begini. Bukannya memikirkan nasib rakyat kecil, sebaliknya mereka  memeras kita, mencuri uang rakyat! Andai tak ada korupsi, aku yakin kemiskinan tak sebanyak ini.” Keluhnya. Yah, itu betul juga!
“ Dahlah, gak usah marah-marah. Aku luamyansuka ucapanmu, Tuhan pasti mengerti.  Tapi  darimana kamu tahu kalau Tuhan pasti mengerti, jika jelas-jelas ini pekerjaan yang tak baik? ”
            “ Dahlah, Mi. Gak usah mikir yang baik-baik dulu. Kalau kamu ganti pekerjaan sekarang, mungkin kamu akan kekurangan. Penghasilan penyanyi biasa berapa sih!? Yah, sebenarnya cukup kalau dicukup-cukupin, tapi katanya kamu ingin kuliah?”
            “ Iya, hehehe….Kamu sendiri, apa rencanamu?”
            “ Aku mau menikah saja, Mi. Imran pacarku, tahun depan wisuda. Aku bekerja begini kan juga untuk dia juga. Jangan bilang siapa-siapa yah? Aku malu! Masa aku yang harus membiayainya, hihi… namanya juga kekasih. Aku percaya padanya, kelak dia akan melamarku, setelah lulus nanti”.
            “ Baguslah! Mudah-mudahan begitu”.
            Tak terasa kami pun tiba di tempat tujuan.Pemilik organ meminta kami untuk tak bergoyang terlalu erotis kali ini karena banyak sorotan. Yah, kami ikut saja…maunya apa. Yang penting bagi kami duitnya saja. Rencananya kami akan tampil dua kali, siang dan malam. Namun urung pertunjukan itu selesai, aku menerima telepon dari rumah.
Ayah meninggal!
Deg, jantungku terasa berhenti berdetak. Tak terkatakan  sedihnya. Dadaku sesak. Air mataku tumpah di sepanjang jalan yang tertempuh kurang lebih tiga jam itu. Akhirnya aku tiba, kulihat bendera kecil tanda kematian terpancang di depan rumahku yang telah disesaki orang. Ibu segera menemuiku, Kami berpelukan lama sekali. “ Bagaimana ceritanya, Bu………?” tanyaku. Ibupun mulai bercerita bahwa tiba-tiba semalam jantung Ayah sesak. Di sela-sela waktu Ibu bercerita, kulihat dua orang abangku sibuk melayani tamu yang melayat. Setelah puas menciumi wajah Ayah dan berkeluh-kesah di depan mayatnya, kudengar Ibu memanggilku. Wajahnya terlihat cemas sekali. Aku pun menghampirinya.
“ Sudahlah, nak! Kamu gak usah sedih, relakan saja Ayahmu yah?” nasihat Ibu. Aku mengangguk walau kesedihan itu masih besar. Sedih karena belum bisa membahagiakan ayah, sedih karena pernikahanku kelak tak disaksikan lagi olehnya.“ Kesini sebentar..’ Ibu lalu menarikku ke kamar. Sepertinya rahasia sekali, aku pun penasaran. “ Nak, sebelumnya Ibu minta maaf yah? …tapi apa kamu punya tabungan nak? Ibu bingung cari uang kemana untuk biaya pemakaman Ayahmu..kamu ada?” pelan sekali  Ibu bicara. “ Ada Bu…perlu berapa memangnya?” tanyaku. Setelah mengiyakan spontan Ibu memelukku sambil menangis lega. Bang Sani lalu memboncengku ke ATM. Sepanjang jalan kami diam saja, tak mengobrol karena terlalu sedih. Tapi kurasa kesedihanku tak terkalahkan oleh apapun di dunia ini.
Seminggu setelah kepergian ayah aku menghubungi bosku dan menyatakan berhenti bekerja. Tari langsung panik, “Kenapa berhenti Mi? Bukankah rencanamu masih banyak. Kamu perlu uang! “ tukasnya. “ Iya. Aku tau tapi bukan dengan jalan begini.  Kuharap kamu pun mau mengikuti jejakku, Tar. Cari pekerjaan yang lebih baik! Mengenai impianku untuk kuliah, kalau memang Allah mentakdirkannya, Insya Allah ada jalannya! Maaf Tar, aku tak akan memaksamu ... tapi aku benar-benar akan berhenti. Kematian ayahku kemarin telah menyadarkanku. Asal tau saja, biaya pemakaman ayah kemarin aku bayar dari hasil menyanyi Candoleng-doleng yang dibencinya.... hiks! Anak macam apa aku ini!? Hiks....” aku pun histeris tak sanggup menahan tangis. “ Kuyakin kamu pun tak ingin mengulangi hal buruk ini, sahabatku....hiks! “ lanjutku masih dengan tangisku. Sementara Tari terdiam di seberang sana kehilangan kata-kata.
                           
                                                                                                Penulis : Wahida Waris


0 komentar:

Posting Komentar

berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)