Sabtu, 26 April 2014

Prabu Dharmakusuma Raja Tanpa Mahkota 

Prabu Dharmakusuma atau Puntadewa adalah raja Hastinapura yang tidak memakai mahkota sebagai pelengkap pakaian kebesarannya. Yang dipakai sebagai mahkota adalah udheng atau biasa juga disebut Gelung Keling. Lalu, apakah hanya dirinya raja yang memakai udeng atau gelung keling? Tidak juga, masih ada raja lain, sebut saja Prabu Drupada. Dalam perjalanan hidupnya menjalani hukuman selama 12 tahun masuk hutan oleh Bala Kurawa, pakaian yang dikenakan Dharmakusuma adalah jenis lugasan. Hal tersebut sesungguhnya mewakili karakteristik sebagian masyarakat Jawa yang cenderung lugas, lugu, dan sederhana.
Dalam dunia pewayangan, menurut pakar seni pedalangan yang juga seorang dalang, Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M. Hum, Prabu Dharmakusuma mempunyai banyak nama, antara lain Ajotosatru, Guno Talikrama, Samiaji, Yudhistira dan Puntadewa. Ajotosatru bermakna tidak mempunyai musuh, Guno Talikrama bermakna tidak berguru pada siapapun, Puntadewa berarti anak Pandu, sementara itu Dharmakusuma bermakna raja yang mengedepankan kebajikan. Prinsip hidupnya, lega dunya lilo ing sirna. Seseorang yang memiliki prinsip seperti ini, akan memberikan semua yang dimilikinya jika diminta orang lain.
Masih menurut ahli pedalangan yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut, cerita tentang penderitaan dan karakter  yang dimiliki oleh Prabu Dharmakusuma mengandung beberapa ajaran yang patut dicermati dan direnungkan sebagai   bahan instrospeksi diri.          Memang Dharmakusuma itu raja tanpa mahkota, darahnya putih dan sudah terbebas dari urusan kepemilikan duniawi, tetapi rupanya kebaikan model seperti ini tetap saja mengandung kelemahan. Begitulah kodrat alam, kodrat  manusia tidak ada yang sempurna. Lalu, apakah kelemahannya? Dalam hal ini terdapat unsur paradoks, bahwa kelemahan Dharmakusuma justru disebabkan oleh kebaikannya. Ketika diajak bermain dadu dengan mempertaruhkan negara, Dharma kusuma tidak dapat menolak dan tanpa memikirkan akibatnya terhadap orang-orang yang selalu setia disampingnya, termasuk saudara-saudaranya (Pandawa) dan istrinya sendiri. Begitu juga ketika Dewi Drupadi, istrinya, diminta, Dharmakusuma menyerahkannya. Sesungguhnya, semua itu adalah simbol, bahwa di dunia ini sudah tidak ada lagi yang memberatkannya termasuk harta, tahta, ataupun wanita.
Manusia memang selalu dilengkapi dengan sisi baik dan sisi buruk, tinggal yang mana yang lebih mendominasi. Walaupun Prabu Dharmakusuma bisa dikatakan mencelakakan saudara-saudaranya karena tidak kuasa menolak permintaan bala Kurawa, tetapi tetap ada hikmah yang dapat dipetik. Hikmah yang pertama,  karakter Dharmakusuma adalah cerminan seorang  pelaku spiritual tinggi, yang sudah mengikhlaskan apa yang dimilikinya.
Prof. Dr. Kasidi Hadi Prayitno M.Hum
Semuanya ringan jika yang dituju hanyalah Tuhan saja. Cinta terhadap dunia  akan “nyandung-nyerimpeti” atau menjadi batu sandungan untuk seseorang yang akan meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia. Maka, ada baiknya jika dalam hal kebaikannya, manusia termasuk kita semua mampu untuk mengambil atau mempraktekkan apa yang menjadi prinsip Prabu Dharmakusuma. Itulah yang dalam prinsip ajaran Islam disebut Inna Lillahi Wainna Ilaihi Roji’uuun, kita semua adalah milik Allah, dan kepadanya juga kita akan kembali. 
Puntadewa itu berdarah putih atau ludira seta. Darah putih melambangkan keikhlasan dan kesabaran tanpa batas, kalau dalam sejarah Islam serupa dengan Abu Bakar Ash-shidiq. Puntadewa itu juga tidak pernah marah karena sangat sabar, tapi apabila kesabarannya sudah habis dan marah maka akan bertiwikrama menjadi raksasa putih yg sangat besar bernama Dewa Amral yg membuat seisi kahyangan menjadi ketakutan, bahkan kebesaran wayang  Dewa Amral itu lebih besar dari tiwikramanya Dewa Wisnu.
Dharmakusuma memakai udheng yang melambangkan sudah mudheng (memahami) akan arti kehidupan. Di dalam udheng tersebut  terdapat layang atau jimat Kalimasada, yaitu kalimah husada atau kalimat penyembuh yang menyimbolkan wejangan-wejangan tentang kehidupan yang dapat menyembuhkan segala penyakit hati. Kalimasada juga berarti kalimat syahadat, atau kalimat penyaksian.  Syahadat disini bukan syahadat ikut-ikutan supaya dikira sudah masuk Islam tapi merupakan syahadat total yaitu sudah menjadi saksi sepenuhnya atas keesaan Allah.
Dari sifat atau karakter Prabu Dharmakusuma dapat diambil beberapa ajaran penting untuk para pemimpin, antara lain:
  1.  Pemimpin harus mempunyai watak ikhlas dan sabar tanpa batas,
  2. Pemimpin harus menjadi tauladan bagi bawahan dan rakyatnya, dan ketika melihat bawahan atau rakyatnya salah jalan dapat menyadarkan mereka dengan memakai kalimat-kalimat penyembuh,
  3. Pemimpin harus mengetahui dan menghayati apa tujuannya dia memimpin dan apa tujuannya hidupnya yaitu semata-mata sebagai jalan menuju Allah.
  4. Syahadat pemimpin itu harus total bukan ikut-ikutan, jadi pemimpin itu sudah menjadi saksi atas keesaan Tuhan sehingga keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu benar-benar yakin, bukan keyakinan yg diyakin-yakinkan.***NCH-Sangkakala

0 komentar:

Posting Komentar

berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)