Kamis, 24 April 2014

Aji Saka membongkar wujud asli Prabu Dewata Cengkar



Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.

Alkisah, di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang pendekar tampan yang sakti mandraguna bernama Aji Saka. Ia mempunyai sebuah keris pusaka dan udheng Ikat kepala) sakti. Selain sakti, ia juga rajin dan baik hati. Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke mana pun pergi, ia selalu ditemani oleh dua orang abdinya yang bernama Dora dan Sembada.

Pada suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.
“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada.
Suatu ketika Aji Saka menolong seorang lelaki paruh baya yang tengah dirampok. Lelaki itu bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamulan. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari ia memakan daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama Jugul Muda. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara diam-diam ke daerah lain. Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.
Mendengar penjelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamulan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamulan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyebrangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya mereka sampai di ibu kota kerajaan tersebut. Suasananya tampak sepi bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Rupanya para penduduk tidak mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh sang Prabu.
Singkat cerita Aji Saka dapat masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa.
“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.
Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata:
“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas udheng hamba ini, dan silakan Paduka sendiri yang mengukurnya,” pinta Aji Saka sambil menunjukkan udheng atau ikat kepala yang dikenakannya.
Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, ia melangkah mundur sambil mengulur udheng itu. Anehnya, setiap diulur, udheng itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Karena terlampau senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur udheng  itu hingga tanpa disadarinya sampai di pantai Laut Selatan. Ketika ia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan udhengnya, sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu pula berubah menunjukan wujud aslinya, yaitu seekor buaya putih.
Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan sangat senang dan merekapun kembali dari tempat pengungsian. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.
Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya, dengan maksud menyuruhnya pergi ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil keris pusaka yang tengah ditunggui oleh Sembada. Karena sama-sama patuh mendapat perintah tuannya, kedua abdi yang semula berpelukan tersebut, akhirnya berkelahi hingga keduanya tewas.
Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktian yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan. Adapun susunan hurufnya sebagai berikut:

Ha na ca ra ka     : Ada utusan
Da ta sa wa la      : Saling bertengkar

Pa dha ja ya nya   : Sama saktinya

Ma ga ba tha nga : Mati bersama



Setelah hampir 2 millenium (2000 tahun) susunan Huruf Jawa tersebut direkonstruksi ulang oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar menjadi 
 
Ka ma ba tha ra
Ga da sa nya tha
Na la pa dha nga
Ja wa ha ca ya






(Penjelasan tentang perubahan susunan Huruf Jawa tersebut ada di halaman lain).

0 komentar:

Posting Komentar

berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)