APA, SIAPA, MENGAPA “SANGKAKALA” ?
Negara
kita RI ini bukan negara agama, namun di sisi lain juga bukan negara sekuler.
Negara kita adalah negara yang berdiri diatas landasan filsafat tertentu yang
kita sepakati bersama, kesepakatan bersama yang insya-Allah akan berbuah TUAH,
seperti yang dikenal luas sebagai TUAH SAKATO. Maka sungguh pada tempatnya
untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang term atau istilah “filsafat”.
Melalui sejarahnya yang panjang, kita mewarisi sejumlah makna mengenai istilah
filsafat yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Filsafat
adalah Pengantar Hikmah
2. Filsafat
adalah Sistem Hakikat
3. Filsafat
adalah Sinoptik Eksistensial
4. Filsafat
adalah Induk segala (Ilmu) Pengetahuan
5. Filsafat
adalah Pandangan Hidup
Hikmah
itu anugerah Allah bagi hamba-Nya. Mereka yang mendapatkannya, maka akan
nampaklah beberapa tandanya, misalnya dadanya menjadi “lapang”,
tulang-punggungnya ditegakkan, sehingga beban terasa ringan, sekaligus
ingatannya ditinggikan dan karenanya memahami hukum kejadian “beserta
kesulitan itu kemudahan” atau sebagaimana terungkap melalui peribahasa “Berakit-rakit
ke hulu, Berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang
kemudian”.
Alangkah
kontrasnya hal tersebut kalau dikonfrontasikan dengan kenyataan ketika para
pejabat, pemuka masyarakat justru orang-orang korup. Bahkan mulai meluas
istilah yang salah-kaprah, yakni “korupsi yang telah membudaya” atau
apakah bahkan sudah menjelma menjadi budaya korupsi? Mengapa itu terjadi bahkan
mewabah? Bagaimana dengan program “pemberantasannya?” Apakah telah diadakan
kajian yang mendasar dan mendalam, radikal sampai ke akar-akarnya?
Agar
segala sesuatunya mencapai penyelesaian tuntas dan menyeluruh, maka harus
ditempuh dua metode, baik deduktif ataupun induktif, mencakup pernyataan dan
kenyataan. Secara deduktif, maka kita harus memahami secara lengkap makna
segala sesuatu serta setiap sesuatu. Misalnya terhadap semua yang “ada”; semua
yang ada itu apa? Jawabannya, tentulah: “semua itu makhluq”;
ujung-ujungnya justru keyakinan atas KHALIQ. Bisa juga diungkapkan berupa ”Imbal
wacana” antara Kawula dan Gusti. Lalu mengapa kalau seseorang “mati”
atau meninggal dunia dikatakan sebagai “sampun tinimbalan” atau “katimbalan”,“kondur
kasidhan jati”; bagaimana dengan ungkapan “tumimbal lahir”
(reinkarnasi”?).
Sementara
itu dalam premise mayor “semua manusia itu mortalis” artinya suatu saat
pasti mati, lalu apa makna khusus kehadirannya selama ini? Bukankah pada makam
seseorang tertera “nama, tahun kelahiran serta tahun kematiannya”,
sehingga menimbulkan kesan hidupnya sekedar menyekat waktu?. Berbeda dengan
orang-orang “besar” yang makamnya memuat kata-kata mutiara, yang dikenal
sebagai epitaph, yang riwayat hidupnya merupakan perwujudan atau personifikasi
daripadanya? Ambil contoh filsuf besar Jerman yakni Immanuel Kant, yang
pusaranya berhiaskan epitaph: Cellum stellatum supra me, Lex moralis intra
me (Begitu cemerlang bintang di langit, demikianlah norma susila di dada
manusia). Atau Sir Isaac Newton, yang makamnya bertuliskan epitaph:
Nature and the
nature’s law
Lay hid in night
God said: “let Newton
be”
And all was light
Bagaimana
dengan bangsa kita? Salah seorang putra besar bangsa Indonesia, yakni Drs. RMP.
Sosrokartono, kakak kandung ibu Kartini, pada makamnya di Kudus, yang dikenal
sebagai makam “Seda-Mukti”, tertera epitaph sebagai berikut
Pada salah satu sisinya:
SUGIH TANPA BANDHA
NGLURUG TANPA BALA
MENANG TANPA NGASORAKE
SEKTI TANPA AJI
Pada sisi sebelahnya tertera kata-kata
mutiara:
TRIMAH MAWI PASRAH
ANTENG MANTHENG
SUGENG JENENG
Momentum DUMELING, DUMILAH
Yang
dimaksud dengan momentum “dumeling” itu misalnya seperti ketika swargi
Sosrokartanan mencapai “Jati Diri” sebagai JAKA PRING, justru karena pring atau
bambu itu juga disebut DELING, yang mengandung konotasi maknawi “Kandel-Elinge”,
yang pada masa perjuangan fisik kemerdekaan berhasil menggelorakan semangat
perjuangan penuh keberanian bersama “senjata” BAMBU RUNCING, berkat “takbir”
Kyahi (ulama) Parakan, yang ahli “marak” atau taqarub kehadapan Allah SWT.
Bagaimana
dengan momentum “dumilah”? Contoh yang sangat terkenal ialah ketika
Allah tajalli di bukit Sinai, disusul oleh kesadaran adi-luhung yakni “ekstase”.
Berikutnya Nabi Musa, Kalimul-Lah, a.s. menangkap mendalam makna “tongkat”,
yang kini dikenal sebagai Teknologi. Tidak mengherankan kalau nabi Musa lalu
merasakan superioritas diri, sampai Tuhanpun menegurnya dan memberitahukannya
bahwa ada hamba Allah yang bukan Nabi namun ilmunya melebihi nabi-nabi, yang
berada di tengah lautan, yang dianugerahi ilmu LADUNNI (ladunna ilma) disertai
kemampuan clairvoyance (“weruh sadurungé winarah”/ waskhita), berkat
“MATAHARI” ABADI/ “MATA” HARIABADI, yang sudah sangat difahami oleh nenek dan
kakek moyang Nusantara sebagai S.H. MANON yang “tansah anon-tinon”. Gaya
hidup mereka yang sudah mencapai tingkatan makrifat itu justru “ Terus
Terang”/ “Terang Terus”. Baginya gelap itu tidak ada; yang ada terang
matahari; namun karena matahari itu bukan “mata” Tuhan, maka ketika cahayanya
terhalang bumi lalu muncul fenomena/ (bukan NOUMENA) gelapnya malam, agar
manusia membuat terang buatan, yakni lampu penerang.
Dalam
kaitan hal yang demikian itu, sangat menarik kisah lama ketika pula
Jawa/Nusantara dihuni penguasa dholim-yang mata gelap, kanibalis, pemangsa
orang, yang setiap hari meminta Aji Saka menyediakan jatah satu orang sampai
Aji Saka tidak menemukan orang lain untuk dijadikan korban/sasaran kecuali
dirinya sendiri. Maka sebelum ia menjadi korban, ia ingin mengetahui berapa
teba luasnya udheng atau ikat kepala yang dikenakannya, sementara Dewata
Cengkar menyanggupi permintaan Aji Saka dengan serta-merta memegang ujung yang
lainnya, sehingga ketika udheng itu dikebut/ dikibaskan dan Dewata Cengkar
terlempar ke laut, maka nampaklah wujud aslinya
yakni sebagai buaya putih.
Apakah
oleh kisah demikian itu kita tidak tersindir? Bukankah kita menjadi terpelajar
setelah belajar di sekolah-sekolah Barat/ kulit putih, namun ternyata baru
sampai pada kulit luar/ permukaannya saja? Bukankah setelah itu Aji Saka
kembali menemui abdinya, Duga Prayoga danDora Sembada, yang ternyata keduanya mati
sampyuh setelah berduel, dan setelah itu Aji Saka nganggit “layang HANA CARAKA”
Menurut
para ahli sejarah kisah Aji Saka itu terjadi pada abad I Masehi, lebih tepatnya
pada tahun 78 M. Sejak semula kepulauan Nusantara itu sudah terkenal dengan
kandungan emasnya sebagaimana terungkap melalui istilah Swarnadwipa/Sumatera,
sementara kualitas “tinta emas” kepribadian tersirat pada “gelar”
terbawah sistem/pandangan hidup ke-NING-RAT-an asal saja tidak dirancukan
dengan sistem Feodalisme, meningkat/ merata
pada kualitas kepribadian RADEN MAS, memuncak pada gelar BANDARA RADEN
MAS yakni anak RATU yang bertingkat kesadaran kosmis (NING-RAT) yakni mereka
yang lapang dadanya ditegakkan tulang punggungnya, diringankan bebannya,
ditinggikan ingatannya, sehingga mampu “membaca” kejadian bahwa beserta
kesulitan itu kemudahan.
Alangkah
kontrasnya hal itu kalau diterapkan pada gaya hidup larut ke pasar/ konsumptivisme“Bersenang-senang
dahulu mengkonsumsi uang hutangan sambil mewariskan pokok dan bunga pinjaman
untuk anak cucu sekarang dan nanti”.
Filsafat
adalah Ilmu Bertanya; sementara Ilmu yang Lainnya itu menjawab pertanyaan itu
sedangkan Agamalah yang mengatur “tanya-jawab” itu Kalau saja kita berpegang
pada rumus kecerdasan, yakni prosentase antara MA (Mental Age) dan CA (Chronological
Age). Sambil mengingat bahwa puncak MA itu “makrifatul-Lah”, dan hal
itu akan tercapai ketika Hari Akhir, maka kalau demikian tahapannya kita masih
pada tingkatan mitologis. Mengapa demikian? Karena orang tidak membedakan
antara Agama dengan Dharma.
SANGKAKALA
adalah media untuk mengantarkan orang siapapun untuk mencapai gelar KI-AGENG
yang oleh Muhammad Iqbal difahami sebagai ETERNAL NOW, atau yang oleh
Filsafat Proses atau Filsafat Organisme disebut sebagai APOTHEOSISME (Li
maalahi waqtun). Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat dengan amat indah
memaparkannya pada tulisannya tentang “Pamungkasing Dumadi”. Silakan
simak kembali Himpunan Karangannya
SANGKAKALA
meniupkan nafiri “Jumenengan Sejati” melalui REVOLUSI SPIRITUAL, tanpa
berdarah-darah hura-hura atau huru-hara. Lakunya, jalan atau metodenya bukannya
“Penjumlahan, Perkalian, atau pemangkatan”, melainkan PEMBAGIAN 0/nol: Bilangan
berapapun, kapanpun kalau dibagi 0/nol, hasilnya pasti TAK TERHINGGA
(Infinitum). Pembagian 0 itulah Nafi Total, sedangkan Infinitum itu adalah
ISBAT TOTAL. Mari kita simak kembali kutipan dari Primbon CIPTA WASKHITA:
Dumunungé ana kang nganani
Tangi turu lungguh lan lumampah
Iku ta nugraha liré
Sorotnya pandam murub
Urubira padha madhangi
Kang padhang iku nyata
Iya kang anglimputsajroning rupa pan
awas
Yèku mangka ibarat ingkang sayekti anèng sira
SANGKAKALA
itu bukannya belum ditiupkan; telinga kita yang tuli; Bukannya QIYAMAT itu
belum terjadi. Pandam, Pandom dan Panduming Dumadi kita yang QZRH yakni huruf
mati yang berdiri. Mengapa kita justru berada pada situasi katungkul,
bukannya tumungkul amari kelu, membiarkan komunitas kita mirip KURAWA? Karena kita
berlindung di balik hijab ALING-ALING, bahkan menjadi MALING.
Marilah
kita laksanakan JIHAD AKBAR, mengubah NAR menjadi NUR, dimulai dengan “Wudhlu
eksistensial”: sesungguhnya tidak ada apa-apa, kecuali yang berkata; tidak punya
apa-apa, termasuk tidak punya RASA PUNYA.Ungkapan “Inna lil-Lahi, wainna
Ilaihi rojiun” itu diucapkan oleh orang hidup justru ketika orang menerima
berita kematian
Agama
kita mengajarkan bahwa Dunia ini adalah tempat tinggal sementara untuk “mampir
ngombe” maka pada tempatnyalah apabila kita meninggalkannya sebelum kita
meninggal dunia. Mereka yang demikian itulah yang sukses; sementara yang gagal
justru setelah meninggal dunia malah tidak meninggakannya karena “menjadi
hantu” di kegelapan kekufurannya.
Pada
era Reformasi ini sudah semestinya para Javanolog mereformasi dentawyanjono-nya
sebagaimana diuraikan pada Maklumat Borobudur, yang uraiannya tertera pada
halaman lain tabloid ini.
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)