Selasa, 22 April 2014

APA, SIAPA, MENGAPA “SANGKAKALA” ?

Negara kita RI ini bukan negara agama, namun di sisi lain juga bukan negara sekuler. Negara kita adalah negara yang berdiri diatas landasan filsafat tertentu yang kita sepakati bersama, kesepakatan bersama yang insya-Allah akan berbuah TUAH, seperti yang dikenal luas sebagai TUAH SAKATO. Maka sungguh pada tempatnya untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang term atau istilah “filsafat”. Melalui sejarahnya yang panjang, kita mewarisi sejumlah makna mengenai istilah filsafat yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.      Filsafat adalah Pengantar Hikmah
2.      Filsafat adalah Sistem Hakikat
3.      Filsafat adalah Sinoptik Eksistensial
4.      Filsafat adalah Induk segala (Ilmu) Pengetahuan
5.      Filsafat adalah Pandangan Hidup
Hikmah itu anugerah Allah bagi hamba-Nya. Mereka yang mendapatkannya, maka akan nampaklah beberapa tandanya, misalnya dadanya menjadi “lapang”, tulang-punggungnya ditegakkan, sehingga beban terasa ringan, sekaligus ingatannya ditinggikan dan karenanya memahami hukum kejadian “beserta kesulitan itu kemudahan” atau sebagaimana terungkap melalui peribahasa “Berakit-rakit ke hulu, Berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.
Alangkah kontrasnya hal tersebut kalau dikonfrontasikan dengan kenyataan ketika para pejabat, pemuka masyarakat justru orang-orang korup. Bahkan mulai meluas istilah yang salah-kaprah, yakni “korupsi yang telah membudaya” atau apakah bahkan sudah menjelma menjadi budaya korupsi? Mengapa itu terjadi bahkan mewabah? Bagaimana dengan program “pemberantasannya?” Apakah telah diadakan kajian yang mendasar dan mendalam, radikal sampai ke akar-akarnya?
Agar segala sesuatunya mencapai penyelesaian tuntas dan menyeluruh, maka harus ditempuh dua metode, baik deduktif ataupun induktif, mencakup pernyataan dan kenyataan. Secara deduktif, maka kita harus memahami secara lengkap makna segala sesuatu serta setiap sesuatu. Misalnya terhadap semua yang “ada”; semua yang ada itu apa? Jawabannya, tentulah: “semua itu makhluq”; ujung-ujungnya justru keyakinan atas KHALIQ. Bisa juga diungkapkan berupa ”Imbal wacana” antara Kawula dan Gusti. Lalu mengapa kalau seseorang “mati” atau meninggal dunia dikatakan sebagai “sampun tinimbalan” atau “katimbalan”,“kondur kasidhan jati”; bagaimana dengan ungkapan “tumimbal lahir” (reinkarnasi”?).
Sementara itu dalam premise mayor “semua manusia itu mortalis” artinya suatu saat pasti mati, lalu apa makna khusus kehadirannya selama ini? Bukankah pada makam seseorang tertera “nama, tahun kelahiran serta tahun kematiannya”, sehingga menimbulkan kesan hidupnya sekedar menyekat waktu?. Berbeda dengan orang-orang “besar” yang makamnya memuat kata-kata mutiara, yang dikenal sebagai epitaph, yang riwayat hidupnya merupakan perwujudan atau personifikasi daripadanya? Ambil contoh filsuf besar Jerman yakni Immanuel Kant, yang pusaranya berhiaskan epitaph: Cellum stellatum supra me, Lex moralis intra me (Begitu cemerlang bintang di langit, demikianlah norma susila di dada manusia). Atau Sir Isaac Newton, yang makamnya bertuliskan epitaph:
                        Nature and the nature’s law
                        Lay hid in night
                        God said: “let Newton be”
                        And all was light
Bagaimana dengan bangsa kita? Salah seorang putra besar bangsa Indonesia, yakni Drs. RMP. Sosrokartono, kakak kandung ibu Kartini, pada makamnya di Kudus, yang dikenal sebagai makam “Seda-Mukti”, tertera epitaph sebagai berikut
            Pada salah satu sisinya:
                        SUGIH TANPA BANDHA
                        NGLURUG TANPA BALA
                        MENANG TANPA NGASORAKE
                        SEKTI TANPA AJI
            Pada sisi sebelahnya tertera kata-kata mutiara:
                        TRIMAH MAWI PASRAH
                        ANTENG MANTHENG
                        SUGENG JENENG

Momentum DUMELING, DUMILAH

Yang dimaksud dengan momentum “dumeling” itu misalnya seperti ketika swargi Sosrokartanan mencapai “Jati Diri” sebagai JAKA PRING, justru karena pring atau bambu itu juga disebut DELING, yang mengandung konotasi maknawi “Kandel-Elinge”, yang pada masa perjuangan fisik kemerdekaan berhasil menggelorakan semangat perjuangan penuh keberanian bersama “senjata” BAMBU RUNCING, berkat “takbir” Kyahi (ulama) Parakan, yang ahli “marak” atau taqarub kehadapan Allah SWT.
Bagaimana dengan momentum “dumilah”? Contoh yang sangat terkenal ialah ketika Allah tajalli di bukit Sinai, disusul oleh kesadaran adi-luhung yakni “ekstase”. Berikutnya Nabi Musa, Kalimul-Lah, a.s. menangkap mendalam makna “tongkat”, yang kini dikenal sebagai Teknologi. Tidak mengherankan kalau nabi Musa lalu merasakan superioritas diri, sampai Tuhanpun menegurnya dan memberitahukannya bahwa ada hamba Allah yang bukan Nabi namun ilmunya melebihi nabi-nabi, yang berada di tengah lautan, yang dianugerahi ilmu LADUNNI (ladunna ilma) disertai kemampuan clairvoyance (“weruh sadurungé winarah”/ waskhita), berkat “MATAHARI” ABADI/ “MATA” HARIABADI, yang sudah sangat difahami oleh nenek dan kakek moyang Nusantara sebagai S.H. MANON yang “tansah anon-tinon”. Gaya hidup mereka yang sudah mencapai tingkatan makrifat itu justru “ Terus Terang”/ “Terang Terus”. Baginya gelap itu tidak ada; yang ada terang matahari; namun karena matahari itu bukan “mata” Tuhan, maka ketika cahayanya terhalang bumi lalu muncul fenomena/ (bukan NOUMENA) gelapnya malam, agar manusia membuat terang buatan, yakni lampu penerang.
Dalam kaitan hal yang demikian itu, sangat menarik kisah lama ketika pula Jawa/Nusantara dihuni penguasa dholim-yang mata gelap, kanibalis, pemangsa orang, yang setiap hari meminta Aji Saka menyediakan jatah satu orang sampai Aji Saka tidak menemukan orang lain untuk dijadikan korban/sasaran kecuali dirinya sendiri. Maka sebelum ia menjadi korban, ia ingin mengetahui berapa teba luasnya udheng atau ikat kepala yang dikenakannya, sementara Dewata Cengkar menyanggupi permintaan Aji Saka dengan serta-merta memegang ujung yang lainnya, sehingga ketika udheng itu dikebut/ dikibaskan dan Dewata Cengkar terlempar ke laut, maka nampaklah wujud aslinya  yakni sebagai buaya putih.
Apakah oleh kisah demikian itu kita tidak tersindir? Bukankah kita menjadi terpelajar setelah belajar di sekolah-sekolah Barat/ kulit putih, namun ternyata baru sampai pada kulit luar/ permukaannya saja? Bukankah setelah itu Aji Saka kembali menemui abdinya, Duga Prayoga danDora Sembada, yang ternyata keduanya mati sampyuh setelah berduel, dan setelah itu Aji Saka nganggit “layang HANA CARAKA”
Menurut para ahli sejarah kisah Aji Saka itu terjadi pada abad I Masehi, lebih tepatnya pada tahun 78 M. Sejak semula kepulauan Nusantara itu sudah terkenal dengan kandungan emasnya sebagaimana terungkap melalui istilah Swarnadwipa/Sumatera, sementara kualitas “tinta emas” kepribadian tersirat pada “gelar” terbawah sistem/pandangan hidup ke-NING-RAT-an asal saja tidak dirancukan dengan sistem Feodalisme, meningkat/ merata  pada kualitas kepribadian RADEN MAS, memuncak pada gelar BANDARA RADEN MAS yakni anak RATU yang bertingkat kesadaran kosmis (NING-RAT) yakni mereka yang lapang dadanya ditegakkan tulang punggungnya, diringankan bebannya, ditinggikan ingatannya, sehingga mampu “membaca” kejadian bahwa beserta kesulitan itu kemudahan.
Alangkah kontrasnya hal itu kalau diterapkan pada gaya hidup larut ke pasar/ konsumptivisme“Bersenang-senang dahulu mengkonsumsi uang hutangan sambil mewariskan pokok dan bunga pinjaman untuk anak cucu sekarang dan nanti”.
Filsafat adalah Ilmu Bertanya; sementara Ilmu yang Lainnya itu menjawab pertanyaan itu sedangkan Agamalah yang mengatur “tanya-jawab” itu Kalau saja kita berpegang pada rumus kecerdasan, yakni prosentase antara MA (Mental Age) dan CA (Chronological Age). Sambil mengingat bahwa puncak MA itu “makrifatul-Lah”, dan hal itu akan tercapai ketika Hari Akhir, maka kalau demikian tahapannya kita masih pada tingkatan mitologis. Mengapa demikian? Karena orang tidak membedakan antara Agama dengan Dharma.
SANGKAKALA adalah media untuk mengantarkan orang siapapun untuk mencapai gelar KI-AGENG yang oleh Muhammad Iqbal difahami sebagai ETERNAL NOW, atau yang oleh Filsafat Proses atau Filsafat Organisme disebut sebagai APOTHEOSISME (Li maalahi waqtun). Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat dengan amat indah memaparkannya pada tulisannya tentang “Pamungkasing Dumadi”. Silakan simak kembali Himpunan Karangannya
SANGKAKALA meniupkan nafiri “Jumenengan Sejati” melalui REVOLUSI SPIRITUAL, tanpa berdarah-darah hura-hura atau huru-hara. Lakunya, jalan atau metodenya bukannya “Penjumlahan, Perkalian, atau pemangkatan”, melainkan PEMBAGIAN 0/nol: Bilangan berapapun, kapanpun kalau dibagi 0/nol, hasilnya pasti TAK TERHINGGA (Infinitum). Pembagian 0 itulah Nafi Total, sedangkan Infinitum itu adalah ISBAT TOTAL. Mari kita simak kembali kutipan dari Primbon CIPTA WASKHITA:
            Dumunungé ana kang nganani
            Tangi turu lungguh lan lumampah
            Iku ta nugraha liré
            Sorotnya pandam murub
            Urubira padha madhangi
            Kang padhang iku nyata
            Iya kang anglimputsajroning rupa pan awas
            Yèku mangka ibarat ingkang sayekti anèng sira
SANGKAKALA itu bukannya belum ditiupkan; telinga kita yang tuli; Bukannya QIYAMAT itu belum terjadi. Pandam, Pandom dan Panduming Dumadi kita yang QZRH yakni huruf mati yang berdiri. Mengapa kita justru berada pada situasi katungkul, bukannya tumungkul amari kelu, membiarkan  komunitas kita mirip KURAWA? Karena kita berlindung di balik hijab ALING-ALING, bahkan menjadi MALING.
Marilah kita laksanakan JIHAD AKBAR, mengubah NAR menjadi NUR, dimulai dengan “Wudhlu eksistensial”: sesungguhnya tidak ada apa-apa, kecuali yang berkata; tidak punya apa-apa, termasuk tidak punya RASA PUNYA.Ungkapan “Inna lil-Lahi, wainna Ilaihi rojiun” itu diucapkan oleh orang hidup justru ketika orang menerima berita kematian
Agama kita mengajarkan bahwa Dunia ini adalah tempat tinggal sementara untuk “mampir ngombe” maka pada tempatnyalah apabila kita meninggalkannya sebelum kita meninggal dunia. Mereka yang demikian itulah yang sukses; sementara yang gagal justru setelah meninggal dunia malah tidak meninggakannya karena “menjadi hantu” di kegelapan kekufurannya.
Pada era Reformasi ini sudah semestinya para Javanolog mereformasi dentawyanjono-nya sebagaimana diuraikan pada Maklumat Borobudur, yang uraiannya tertera pada halaman lain tabloid ini.

0 komentar:

Posting Komentar

berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)