Jumat, 02 Mei 2014



Geliat Seni Reog Ponorogo

Di bawah matahari yang terik pada Jumat siang tanggal 12 Oktober 2012, ada sebuah keramaian yang tak biasa di lapangan Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Sleman. Ternyata sebuah pertunjukan seni reog yang cukup menarik. Dikatakan demikian karena pertunjukan reog siang itu melibatkan 20-an paguyuban seni reog dari Ponorogo dan Madiun. Seolah menjawab tantangan zaman mereka dengan penuh semangat memainkan peranan-peranan dalam kesenian khas Ponorogo tersebut dengan sepenuh hati.

Ada sejumlah nama paguyuban seni reog yang ikut serta dalam acara yang dikemas seperti festival ersebut, antara lain; Paguyuban Seni Reog Singo Budoyo, Singo Yehuda, Singo Ludro, dan Singo Yudho Mulyo. Atraksi yang ditampilkan selain gebyar reog bersama, jathilan, atraksi barong, atraksi kucingan, warok Ponorogo, dan atraksi panjat bambu. Menurut Sugiono, pimpinan Seni Reog Joyo Manunggal dari Madiun, yang juga ikut serta dalam acara tersebut, pertunjukan reog gabungan tersebut akan berlangsung 11 hari di 11 tempat yang berbeda. "Saya bersyukur para pemuda di Madiun semakin menunjukan ketertarikannya pada seni reog, ini bagus untuk upaya pelestarian seni reog ." katanya mantap.

Seni reog Ponorogo merupakan kesenian budaya khas Ponorogo yang biasanya di awal pertunjukan tak lepas dari pertunjukan jathilan, yang dimainkan oleh seorang perempuan dengan menungangi kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam. Seni reog biasa menampilkan kepala singa yang di­padu dengan bulu merak yang dirangkai tegak berdiri di atasnya. Menurut Glondor, seorang pebarong (sebutan untuk pemain barong) dari Madiun, harga satu Dadak Merak (sebentuk kepala harimau yang dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram, red) saat sekarang mencapai 15 juta rupiah. Hal ini dikarenakan di pasaran harga bulu merak relatif mahal, sehingga saat ini pembuatannya sampai banyak yang harus mengimpor dari luar negeri.

Di sebelah barat alun-alun Ponorogo, banyak dijumpai pernak – pernik reog mini yang dijual dengan kisaran harga minimal 1 jutaan. Di setiap bulan Muharam atau Suro, di tempat tersebut biasa diadakan festival reog yang di ikuti oleh seluruh paguyuban seni reog yang berasal dari berbagai daerah lain, tidak hanya dari Ponorogo, tetapi juga dari kota-kota lain di Pulau Jawa, bahkan dari luar Jawa.

Reog identik dengan para warok, yang mana kata warok menurut sesupuh Ponorogo yang tak mau disebutkan namanya berasal dari kata wiro’i yang dalam Bahasa Arab bermakna orang yang menjauhi barang-barang samar atau yang belum tentu jelas kebenaran halal-haramnya. Sedangkan nama Ponorogo berasal dari kata fana raga yang artinya ketiadaan jasad.

Kisah asal mula seni reog berasal dari kerajaan Kediri. Pada saat itu sang raja mempunyai putri cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit, yang masih belum mempunyai pasangan. Belum menikahnya sang putri membuat gundah raja, sehingga rajapun memanggil Dewi Sanggalangit agar mau untuk menikah. Dewi Sanggalangit bersemadi untuk mencari petunjuk dari yng Maha Kuasa, dan dalam semedinya putri cantik terse­but menerima wangsit bahwa calon suaminya harus mem­persembahkan sebuah tontonan yang menarik, semacam tarian yang diiringi tabuhan dan gamelan, dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor, dan harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua. Semuanya itu nantinya akan dijadikan iringan pengantin.

Dalam versi lain dikisahkan legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipenga­ruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedang­kan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna.
***NCH/Sangkakala

0 komentar:

Posting Komentar

berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)