Membaca Borobudur, Kunci Bangkitnya Kejayaan Nusantara
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini
didirikan oleh para penganut agamaBuddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsaSyailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur
sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya
dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus
memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang
yang didalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila dalam
posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar
roda dharma).
Jika Borobudur dikatakan merupakan
karya Buddhis sedunia, hal ini tidaklah tepat. Borobudur merupakan sumbangan nyata
manusia Jawa untuk menghormati laku spiritual yang dilakukan oleh Siddharta
Gautama. Dikatakan demikian karena jika Borobudur merupakan karya Buddhis
sedunia maka seharusnya letaknya bukan di Indonesia, melainkan di India, tempat
awal mula ajaran Buddha. Adapun manusia Jawa yang dimaksud adalah bukan Jawa
yang menunjukan suku Jawa, melainkan Jawa sebagai singkatan dari Jiwa Kang Kajawi. Hal tersebut merupakan
berkah yang diungkapkan oleh PB IX Surakarta. Jiwa Kang Kajawi adalah jiwa yang
tercerahkan, apapun sukunya, jika jiwanya sudah dapat menangkap cahaya Illahi
maka disebut jiwa kang kajawi.
Drs. RMP. Sosrokartono, kakak
kandung RA. Kartini, pernah berkata yang pada intinya mengatakan bahwa
Borobudur adalah kunci untuk mewujudkan kejayaan Indonesia. Hal ini tidak dapat
dipungkiri, karena dengan membaca reliefnya saja, akan banyak menginspirasi
sesuai dengan keilmuwan yang dimiliki oleh pengunjung yang membacanya. Belum
lagi tentang struktur bangunannya, sampai pada tahap penghayatan laku spiritual
yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Hal ini terbukti dengan sudah banyaknya
orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang merasa terpanggil jiwanya
pernah beberapa kali mengadakan acara spiritual lintas keyakinan do’a bersama
untuk kejayaan Indonesia di Borobudur, seperti peristiwa yang terjadi tanggal
21 Juni 2012 dan 5 Juli 2012 yang menghasilkan Maklumat Borobudur (baca di halaman lain, red).
Pada tahun 1969, Neil Amstrong mengirim
berita ke pemerintah Indonesia bahwa dalam perjalanannya ke bulan, Neil
Amstrong melihat sinar terang yang memberikan rasa damai dan tenang dari bumi,
dan ketika dilihat dengan teleskop sinar itu berasal dari Candi Borobudur.
Neil juga mengirim sampel batu dari bulan sebagai kenang kenangan.
Hal ini telah membantu promosi wisatawan asing datang ke Indonesia dan restorasi Borobudur oleh UNESCO bersama pemerintah Republik Indonesia terlaksana di tahun 1979. (Kompas, 5 Sep 2012, hal.12) Tentu hal ini bukan sebuah kebetulan, semua yang terjadi ada maksud yang perlu dikaji, sehingga pertanyaan apa-mengapa-bagaimana dapat dijawab secara jelas dan tepat.
Neil juga mengirim sampel batu dari bulan sebagai kenang kenangan.
Hal ini telah membantu promosi wisatawan asing datang ke Indonesia dan restorasi Borobudur oleh UNESCO bersama pemerintah Republik Indonesia terlaksana di tahun 1979. (Kompas, 5 Sep 2012, hal.12) Tentu hal ini bukan sebuah kebetulan, semua yang terjadi ada maksud yang perlu dikaji, sehingga pertanyaan apa-mengapa-bagaimana dapat dijawab secara jelas dan tepat.
Candi Borobudur merupakan model alam semesta dan
dibangun sebagai tempat suci untuk umat Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah. Secara
umum Borobudur memperlihatkan laku spiritual seorang Siddharta Gautama sehingga
mendapat pencerarahan dan kebijaksanaan. Umat Buddha
yang akan melakukan ritual akan masuk melalui sisi timur di dasar candi dengan berjalan melingkarinya searah
jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah
dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah
berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang
terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan
pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa
serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas
Stamford Raffles, yang saat
itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah
Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian
situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Konsep Rancang Bangun
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama
atau "nafsu rendah". Bagaimana dengan kondisi dunia
atau khususnya kondisi Indonesia saat ini? Jika semua anak bangsa termasuk
generasi muda dan para pemegang kekuasaan jiwanya banyak yang dikuasai nafsu
rendah, maka permasalahan-permasalahan bangsa ini akan semakin berat untuk
dapat diselesaikan. Bagian ini
sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat
konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat
160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil
struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat
melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan
yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang
pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300
gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir
dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Bagaimana dengan kondisi dunia atau khususnya kondisi Indonesia saat ini?
Jika semua anak bangsa termasuk generasi muda dan para pemegang kekuasaan
jiwanya sudah mampu mengendalikan nafsu, maka permasalahan-permasalahan bangsa
ini akan semakin mudah untuk dapat diselesaikan. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha
terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar.
Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang
sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan
rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah
Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat
tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian
teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan
relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan
ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak
berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam
atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk
dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Dapat dibayangkan, jika
sebagian besar manusia Indonesia sudah bebas dari segala keinginan, maka akan
terciptalah kesejahteraan. Orang-orang yang ditaqdirkan kaya akan mudah untuk
memberikan sumbangan atau santunan tali kasih, berinfak-sedekah, ataupun
berzakat.
Pada pelataran lingkaran terdapat 72 stupa kecil
berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran
yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras
terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras
teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur
sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih
tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak
terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan
wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi.
Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah
ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak
rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui
penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung
yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.
Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak
boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini
menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong
diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan
ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan,
dan bentuk serta terbebas dari lingkaran lingkaran lahir - hidup - mati (samsara)
Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk
membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju
situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu
seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat.
Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu
sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu.
Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang
tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap
sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya,
candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami.
Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang
ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong
dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang
bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha
diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan.
Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa,
daripada kuil atau candi.[51]Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk
memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan
pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai
rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa
ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan
dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa
prasejarah Indonesia.
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada
teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan
sangat teliti dan halus. Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis
dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini
sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha. Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa
India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis
tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita
bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai
derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali
digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk
tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian
leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban
tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk
beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya
figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil
menggenggam teratai bertangkai panjang.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti
sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan
hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau
di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk
ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi,
bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa,
serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah
relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan
kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief
Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara
Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau
disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskertadaksina yang artinya ialah timur.
Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa
dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya,
mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka
secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama)
dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun
sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada
dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara
singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu
ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief
yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum
karma. Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma,
yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan
merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu
cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi
gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara
keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir -
hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan
oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju
kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh
pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum
Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Siddhartha Gautama mencukur rambutnya dan menjadi
pertapa
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam
deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang
dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan
wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga
pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura
yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut
hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief
tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran
Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu.
Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama,
yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang
Buddha di sebut dharma yang juga berarti
"hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah
berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran
Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti
sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari
makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah
yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.
Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan
dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan
Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang
berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita
Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama,
artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan
yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau
untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4
Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong
ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi
tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura
didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk
bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)