Sabtu, 26 April 2014

Prabu Dharmakusuma Raja Tanpa Mahkota 

Prabu Dharmakusuma atau Puntadewa adalah raja Hastinapura yang tidak memakai mahkota sebagai pelengkap pakaian kebesarannya. Yang dipakai sebagai mahkota adalah udheng atau biasa juga disebut Gelung Keling. Lalu, apakah hanya dirinya raja yang memakai udeng atau gelung keling? Tidak juga, masih ada raja lain, sebut saja Prabu Drupada. Dalam perjalanan hidupnya menjalani hukuman selama 12 tahun masuk hutan oleh Bala Kurawa, pakaian yang dikenakan Dharmakusuma adalah jenis lugasan. Hal tersebut sesungguhnya mewakili karakteristik sebagian masyarakat Jawa yang cenderung lugas, lugu, dan sederhana.
Dalam dunia pewayangan, menurut pakar seni pedalangan yang juga seorang dalang, Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M. Hum, Prabu Dharmakusuma mempunyai banyak nama, antara lain Ajotosatru, Guno Talikrama, Samiaji, Yudhistira dan Puntadewa. Ajotosatru bermakna tidak mempunyai musuh, Guno Talikrama bermakna tidak berguru pada siapapun, Puntadewa berarti anak Pandu, sementara itu Dharmakusuma bermakna raja yang mengedepankan kebajikan. Prinsip hidupnya, lega dunya lilo ing sirna. Seseorang yang memiliki prinsip seperti ini, akan memberikan semua yang dimilikinya jika diminta orang lain.
Masih menurut ahli pedalangan yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut, cerita tentang penderitaan dan karakter  yang dimiliki oleh Prabu Dharmakusuma mengandung beberapa ajaran yang patut dicermati dan direnungkan sebagai   bahan instrospeksi diri.          Memang Dharmakusuma itu raja tanpa mahkota, darahnya putih dan sudah terbebas dari urusan kepemilikan duniawi, tetapi rupanya kebaikan model seperti ini tetap saja mengandung kelemahan. Begitulah kodrat alam, kodrat  manusia tidak ada yang sempurna. Lalu, apakah kelemahannya? Dalam hal ini terdapat unsur paradoks, bahwa kelemahan Dharmakusuma justru disebabkan oleh kebaikannya. Ketika diajak bermain dadu dengan mempertaruhkan negara, Dharma kusuma tidak dapat menolak dan tanpa memikirkan akibatnya terhadap orang-orang yang selalu setia disampingnya, termasuk saudara-saudaranya (Pandawa) dan istrinya sendiri. Begitu juga ketika Dewi Drupadi, istrinya, diminta, Dharmakusuma menyerahkannya. Sesungguhnya, semua itu adalah simbol, bahwa di dunia ini sudah tidak ada lagi yang memberatkannya termasuk harta, tahta, ataupun wanita.
Manusia memang selalu dilengkapi dengan sisi baik dan sisi buruk, tinggal yang mana yang lebih mendominasi. Walaupun Prabu Dharmakusuma bisa dikatakan mencelakakan saudara-saudaranya karena tidak kuasa menolak permintaan bala Kurawa, tetapi tetap ada hikmah yang dapat dipetik. Hikmah yang pertama,  karakter Dharmakusuma adalah cerminan seorang  pelaku spiritual tinggi, yang sudah mengikhlaskan apa yang dimilikinya.
Prof. Dr. Kasidi Hadi Prayitno M.Hum
Semuanya ringan jika yang dituju hanyalah Tuhan saja. Cinta terhadap dunia  akan “nyandung-nyerimpeti” atau menjadi batu sandungan untuk seseorang yang akan meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia. Maka, ada baiknya jika dalam hal kebaikannya, manusia termasuk kita semua mampu untuk mengambil atau mempraktekkan apa yang menjadi prinsip Prabu Dharmakusuma. Itulah yang dalam prinsip ajaran Islam disebut Inna Lillahi Wainna Ilaihi Roji’uuun, kita semua adalah milik Allah, dan kepadanya juga kita akan kembali. 
Puntadewa itu berdarah putih atau ludira seta. Darah putih melambangkan keikhlasan dan kesabaran tanpa batas, kalau dalam sejarah Islam serupa dengan Abu Bakar Ash-shidiq. Puntadewa itu juga tidak pernah marah karena sangat sabar, tapi apabila kesabarannya sudah habis dan marah maka akan bertiwikrama menjadi raksasa putih yg sangat besar bernama Dewa Amral yg membuat seisi kahyangan menjadi ketakutan, bahkan kebesaran wayang  Dewa Amral itu lebih besar dari tiwikramanya Dewa Wisnu.
Dharmakusuma memakai udheng yang melambangkan sudah mudheng (memahami) akan arti kehidupan. Di dalam udheng tersebut  terdapat layang atau jimat Kalimasada, yaitu kalimah husada atau kalimat penyembuh yang menyimbolkan wejangan-wejangan tentang kehidupan yang dapat menyembuhkan segala penyakit hati. Kalimasada juga berarti kalimat syahadat, atau kalimat penyaksian.  Syahadat disini bukan syahadat ikut-ikutan supaya dikira sudah masuk Islam tapi merupakan syahadat total yaitu sudah menjadi saksi sepenuhnya atas keesaan Allah.
Dari sifat atau karakter Prabu Dharmakusuma dapat diambil beberapa ajaran penting untuk para pemimpin, antara lain:
  1.  Pemimpin harus mempunyai watak ikhlas dan sabar tanpa batas,
  2. Pemimpin harus menjadi tauladan bagi bawahan dan rakyatnya, dan ketika melihat bawahan atau rakyatnya salah jalan dapat menyadarkan mereka dengan memakai kalimat-kalimat penyembuh,
  3. Pemimpin harus mengetahui dan menghayati apa tujuannya dia memimpin dan apa tujuannya hidupnya yaitu semata-mata sebagai jalan menuju Allah.
  4. Syahadat pemimpin itu harus total bukan ikut-ikutan, jadi pemimpin itu sudah menjadi saksi atas keesaan Tuhan sehingga keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu benar-benar yakin, bukan keyakinan yg diyakin-yakinkan.***NCH-Sangkakala

SINGA BARONG KERIS PETINGGI KARATON

Pada masa Sultan Agung, keris singa barong di berikan kepada para panglima perang Mataram yang telah berjasa dalam peperangan. Demikian menurut salah satu keturunan dari trah Hamengkubuwono II, Eko Supriyono yang melestarikan dan masih aktif dalam pembuatan keris di kediamannya daerah Taman Siswa, Yogyakarta.Keris singa barong mempunyai bentuk yang unik, karena pada bagian bawah keris atau bagian gandik terdapat bentuk singa yang mengartikan sifat kewibawaan. Pada mulut singa yang menganga terdapat butiran emas yang dimaksudkan untuk meredam penampilan dan sifat galak dari singa tersebut Hampir tidak pernah dijumpai adanya keris dapur singa barong yang tidak memakai sumpalan di mulutnya.

Dapur Singa Barong lambang kekuasaan dan ketegasan bagi raja, patih d a n senapati. Bagian gandik diukir dengan bentuk miniatur singa sedang berjongkok dengan mulut menganga. Bentuk singa ini menyerupai kilin, yaitu arca binatang mitologi penunggu gerbang dari kebudayaan China. Kilin ini banyak dijumpai di bangunan klenteng. Dapur Singa Barong juga biasa disebut dengan dapur Naga Singa. Bilahnya ada yang berluk sembilan, tiga, lima, tujuh, sebelas bahkan ada pula yang merupakan keris lurus. Itulah sebabnya penyebutan nama dapur keris Singa Barong sebaiknya juga menyebutkan jumlah luknya.

Dalam sebuah versi tentang Perang Bubat dikisahkan, Putri Dyah Pitaloka tidak bunuh diri, melainkan ikut bertempur, bahkan berduel dengan Mahapatih Gajah Mada.Sang putri menghunus Keris Sanga Barong berluk 13 yang merupakan keris leluhur Pasundan peninggalan pendiri kerajaan Tarumanegara, yang bernama, Prabu Jayasinga Warman. Meskipun akhirnya gugur, Sang Putri berhasil melukai tubuh Gajah Mada dengan keris tersebut. Akibat luka itu, Gajah Mada menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan, dan akhirnya meninggal. Dalam versi lain yang lebih populer, Gajah Mada tidak pernah mati, tetapi patih sakti tersebut muksa, menghilang ke alam kelanggengan tanpa meninggalkan raga. Menutup perbincangan, lebih lanjut, Pak Eko (sapaan akrabnya, red) menjelaskan, di dalam sebuah keris terdapat begitu banyak makna filosofisnya, proses pembuatannyapun cukup membutuhkan waktu yang lama. Untuk memperoleh inti besi harus mengalami proses penempaan dengan temperatur tinggi. Bagian-bagian yang bukan inti besi akan terbuang menjadi abu, hingga kalau ditempa tidak akan mengeluarkan percikan bunga api.

Pamor adalah besi berlipat yang ditempelkan pada keris, sehingga membentuk warna dan gambar pada permukaan keris, biasanya terbuat dari batu meteor yang memiliki kandungan nikel yang bagus. Pamor Singa Barong memiliki pamor pedaringan kebak. Pedaringan adalah tempat penyimpanan padi yang biasa terdapat di rumah adat jawa yang berada di tengah.Sedangkan kebak berarti penuh, yang secara keseluruhan memiliki pengertian rezeki atau tidak kekurangan pangan.Warongko dengan model gayaman yogyakarta, terbuat dari kayu cendana wangi yang berfungsi sebagai pewangi keris itu sendiri. Sependhok motif bunton dengan tatahan semen gurdo, yang terdapat pada permukaan warongko keris. Pada tangkai keris dengan bentuk taman banaran yang terbuat dari kayu kemuning. Mendak dengan motif kendit,mendak adalah cincin yang melingkar di tangkai keris. Kalau pada keris singa barong mendak motif kendit terbuat dari bahan perak dengan sepuhan emas.

Jumat, 25 April 2014

PEMUKA AGAMA MEMANDANG KEISTIMEWAAN DIY

KH. Abdul Muhaimin (Pemuka Dien Islam PP Nurul Umatan)

Pemuka Dien Islam / Pimpinan PP Nurul Umatan
Jika ditinjau dari isinya, muatan UUK DIY Nomor 13 Tahun 2012 yang baru saja disahkan sangat jauh dari harapan. Hanya 5 aspek yang dicover, sementara Maklumat 5 Septemberantara lain memuat keputusan penting bahwasegala kekuasaan ada ditangan Sultandan pertanggungjawaban langsung ke Presiden. Jika dikalkulasi, UUK DIY tersebutisinya hanya memuat 10 persen saja dari eksistensi Kraton sebelum bergabung dengan NKRI. Apalagi yang menyerahkan juga hanya Dirjen, bukan Mendagri terlebih Presiden.Kalau dilihat keistimewaan DIY jelas sangat banyak, tapi, saya lebih fokus pada gelar sultan yang panjang, Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun, Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayyidin Panotogomo Kalipatullah. Ini merupakan sebuah konsep kepemimpinan yang bisa jadi di dunia hanya satu-satunya, ada 3 prototipe kepemimpinan. 

1.       Ngarso dalem Sampeyan Dalem (PrototipeKepemimpinan Cultural
2.    Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo (Prototipe Kepemimpinan Politik
3.       Ngabdurrahman Sayyidin Panotogomo Kalipatullah (Prototipe Kepemimpinan Religius)

Soal Penetapan itupun saya tidak setuju, karena intinya penetapan kemarin itu hanyalah sebuah pengukuhan, isinya hanyalah sebuah pengakuan tentang culture, historisitas, dan peran-peran politis masa lalu. Dan sejatinya Jogja memang tidak meminta, keistimewaan DIY sudah melekat sejak dulu. Makabagi saya, harapan terbesarnya adalah Ngarso Dalem semogamampu merepresentasikan ketiga prototipe kepemimpinan tersebut. Konsep kepemimpinan dengan tiga kepemimpinan tersebut di negara manapun mungkin tidak ada, hanya ada di sini, di Jogja, ini kan warisan dunia. Dari 42 kerajaan Islam, kerajaan besar di Nusantara, hanya Jogja yang rajanya mempunyai gelar sepanjang itu.
Rekam jejak kepemimpinan religius Kraton Yogyakarta cukup jelas terlihat pada karya-karya religius yang jumlahnya cukup banyak, antara lain tata ruang dan kalender. Tata ruang yang merupakan konsep imajiner sejumlah titik-titik sentral wilayah Kraton waktu berdirinya Mataram Islam, ditiru banyak daerah di Indonesia, terbukti dengan tata kota Kabupaten yang selalu terdapat alun-alun, lapangan, mesjid yang selalu ada di setiap kota kabupaten.

Pdt. Elga Sarapung (Pemuka Kristen Protestan)

Keistimewaan DIY paling tidak terlihat dari 3 point penting yaitu :
  1. Fakta penduduk Jogja yang majemuk, plural, dan multikultur
  2. Kesadaran akan perlunya mengisi dan mempertahankan tradisi
  3. Mempertahankan predikat Jogja sebagai kota pendidikan.
Itu semua akan berjalan dengan baik, dengan syarat tidak dipolitisir. Pesan saya, jangan sampai Jogja menjadi kota yang dibangun atas nama modernisasi yang masyarakatnya berubah hedonis. Jika dibiarkan, pada akhirnya akan dapat membentuk karakter masyarakat yang individualis dan egois. Semoga hal ini tidak terjadi, silakan saja kota dibangun sedemikian rupa, tetapi tradisi jangan sampai hilang dari kota budaya dan pendidikan ini.

Bikkhu Sri Panyavaro (Pemuka Dharma Buddha/Candi Mendut)


Bagi kami selaku umat Buddha, Yogyakarta jelas Istimewa. Sultan HB IX adalah orang yang sangat berjasa dalam Pemugaran Candi Borobudur. Waktu itu beliaulah yang menjadi Ketua Komite Pemugaran Candi, yang memerlukan dana sangat besar, tapi atas kegigihan beliau dana tersebut dapat terkumpul untuk pelaksanaan pemugaran.


 Dr. G. Budi Subanar (Pemuka Katholik)

Soal keistimewaan DIY, saya melihatnya yang pertama dari sejarah, ibarat manusia, balita RI ada di Jogja dari awal tahun 1946 sampai akhir 1949. Segala tata urusan pemerintahan awal mulanya juga ada di Jogja. Dari segi historis pendidikan, Jogja sangat berperan penting. Hal ini terlihat dari sejarah pendidikan tinggi, Jogja menopang pendidikan-pendidikan tinggi di kota-kota lain di Indonesia. Bahkan sampai sekarangpun banyak dari daerah yang menimba ilmunya di Jogja, sehingga  banyak sekali alumni-alumni yang menjadi tulang punggung di berbagai daerah. Sangat jelas apa sumbangsih Jogja terhadap Indonesia, jika dilihat dari segi pendidikan.
Selain dari segi historis, keistimewaan DIY juga terlihat dari segi sosiologis masyarakat pendukungnya. Keistimewaan DIY yang ditempatkan pada pimpinan daerah, merupakan puncak dari keseluruhan bangunan yang menopang keistimewaan tersebut. Tata pemerintahan yang sekarang berlangsung di Jakarta saat ini, pelantikan Presiden pertama berlangsung di Jogja. Kementrian-kementrian juga awal mulanya di Jogja, ada Kementrian Kemakmuran, Kementrian Kehakiman, Mentri Dalam Negri, Mentri Pemuda. Itu semua sejarahnya belum digarap. Padahal jika betul-betul digarap, tata pemerintahan yang ada sekarang akan terlihat kontinuitas atau keberlanjutannya. Saya tidak sreg jika ada yang mengatakan Jogja sebagai Indonesia kecil atau Nusantara kecil, menurut saya Jogja adalah Potret Indonesia. 

Acarya Shiwa Buddha Yogma (Pemuka Hindu )


Sebagai orang yang pernah lama tinggal si Jogja, saya berharap Jogja tetap mempertahankan budaya adiluhung, budaya-budaya Jawa, termasuk tradisi Karatonnya. bagaimanapun juga Jogja tidakl boleh melupakan apalagi menghilangkan budaya leluhurnya. Begitulah Keistimewaan Jogja, Semoga dapat dipertahankan dan dijaga kelestariannya.




FOKUS KEISTIMEWAAN DIY BUKAN PADA PENETAPAN ATAU PEMILIHANNYA



Gotong Royong sebagai inti Filsafat Pancasila itu bukan hanya milik kita (Bangsa Indonesia). Dunia juga mengenalnya dengan baik, sebagaimana dipaparkan oleh Filsafat Organisme yang juga dikenal sebagai Filsafat Proses. Kesatuan organis yang terus menerus berproses itu akan mencapai titik akhirnya pada momentum Apotheosisme yakni rekonsiliasi awal-akhir lahir Batin yang oleh bangsa kita terungkap dengan jelas pada pernyataan Tuhan seru sekalian Alam atau pada ekspresi “Tuhan”, seru sekalian Alam.

Filsafat proses/ Filsafat Organisme itu mengenal Tuhan sebagai “Entitas paling aktual, namun non-temporal” dengan kedua kutub sifat hakikinya yakni “Pamoring Kawula-Gusti” serta “Sangkan Paraning Dumadi”, bukannya dalam arti Monisme atau Pantheisme, melainkan sesuai dengan ajaran Mono-pan-Theisme atau Pan-en-Theisme.

Negara itu adalah makhluk jadian; maka terdapatlah istilah “kepala” Negara beserta dengan perlengkapan “kaki” “tangannya”. Diantara organ tubuh manusia itu terdapat suatu organ tubuh yang istimewa yakni jantung, hati atau qolbu, sehingga agama di sisi-Nya mengungkapkan dalil  “qolbunya orang beriman/mukmin itu BAITULLAH”; itulah sebabnya maka manakala disebut nama Tuhan, bergetarlah hatinya. Itulah momentum DUMELING sekaligus DUMILAH. Itulah yang terjadi pada Nabi pada peristiwa Nuzulul Qur’an serta Lailatul Qodar.

Mereka yang belum menyempurnakan rukun Islam lakunya menambah jumlah umurnya; namun setelah ibadah haji seharusnya menumbuhkan kesadaran perihal berkurangnya jatah umur berkat laku thawaf yang gerakannya anti jarum jam, artinya jatah usianya menjadi berkurang dan berkurang. Akhirnya berhentilah momentum IMBAL WACANA, dari Nyadhong Dhawuh ke Sendika DHAWUH. Maka perlu sekali orang memahami secara betul hakikat kematian, bukannya fenomena berhentinya degup jantung, hembusan nafas terakhirnya melainkan pada laku Olah ATI, ng-ATI bahkan M-ATI/ qiyamat “Jumenengan”.
Suatu fenomena yang menarik ialah berat ringannya jisim di saat kematian; orang yang jasadnya terasa berat ketika diangkat dibanding yang terasa ringan, lebih-lebih yang “berjalan” sendiri karena yang takziah memenuhi jalan dari rumah duka sampai ke tempat peristirahatan akhir, menghantarkan orang pada laku MOKSA. Subhanal-Lah bangsa kita dibekali dengan kesatuan informatif “KAMA, HARTA, DHARMA, MOKSA”. Hal itu juga sejalan dengan personofikasinya “ilmu Mentanegara” berikut liturgi NA-TA-NA-GA-RA.
Juga tidak kalah menariknya perihal kesesuaian nama-nama Kepala Negara RI dengan liturgi tersebut. Sementara itu perlu diingat bahwa kita memiliki 3 unggulan kultural berkualitas “global cultural heritage”, yakni Candi Borobudur, Keris dan Wayang Purwa. Kita termasuk bangsa yang suka belajar serta memahami hakikat keterpelajaran sebagaimana ungkapan “Non scholae sed vitae discimus”, karenanya mampu membuat garis pemisah antara tontonan dan tuntunan. Pada pertunjukan wayang purwa misalnya garis pemisah itu ialah momentum GARA-GARA yakni munculnya wulu-cumbu sebagai lambang kearifan lokal di tengah-tengah kajian induk Ramayana tentang libido sexualis, serta Maha-Barata tentang libido mortalis, ditandai dengan tegaknya kayon atau gunungan di tengah perkeliran.
Primadona pada Ramayana adalah kera putih lambang sperma dengan pertapaannya di daerah Ungaran, yakni Kendalisada. Dialah yang menjaga sosok Dasamuka yang ditindih Gunung Sumawana yang berarti “ora wurung” yakni Kama Dadi, bukan Kama Salah Tetes, yakni Bathara Kala, lambang pemaknaan yang salah terhadap makna waktu. Pada lakon Ruwatan, ketika Bathara Kala dihantam GADA INTEN atau lebih tepatnya “Sarung Gada Inten” sebagai lambang TAUHID maka Bathara Kala pun pecah berkeping-keping berupa Kala-bang, Kala-jeng-king, Kala-sundep, serta KALA LASO, yang menjerat dunia ke dalam Olah Pasar, gaya konsumptivisme/konsumerisme.
Akhir-akhir ini muncul fenomena budaya yang mengganggu, yang salah tapi kaprah; misalnya term “cewek/cawik”, “cowok”, yang menggeser kata yang penuh makna, yakni PEREMPUAN (yang bertugas menjaga pulau, empu-laut, sementara para pria melaut berguru pada sosok misterius, yakni Khidir a.s. yang dalam pustaka Jawa identik dengan sosok Dewa Ruci, jati-diri tokoh BIMA.
Contoh fenomena lainnya ialah diperebutkannya air kotor, bekas air siraman kereta kencana kendaraan Ingkang Sinuhun (Surakarta)/Sinuwun (Yogyakarta) padahal yang diperebutkan itu semestinya justru sisa AIR BERSIH. Air kotor itu uang pinjaman, sedangkan AIR BERSIH itu infaq, shodaqoh, zakat mal, dan zakat fitrah.
Mengapa kita mengabaikan kisah lama padahal kisah tersebut penuh makna ketika Pulau Jawa diperintah oleh tokoh kanibalis, Dewata Cengkar, kebalikan dari tuntunan cahaya, yang oleh AJI SAKA berkat kibasan/kebutan udhengnya lalu masuk ke laut dan kembali ke aslinya sebagai “Buaya Putih?” Bukankah kita itu terpelajar berkat sekolah-sekolah orang kulit putih, namun kita baru mem-fotocopy permukaannya?
Kereta rel KA memotong sumbu imaginer A-U-M (Agni-Udaka-Maruta) maka tampillah P.Diponagoro yang memakai nama resmi Sultan Abdul Hamid HERU CAKRA, yang mengedepankan ketetapan hati (MANAH/HRU; Cakra=bulat). Suatu ilmu yang sebagai suatu disiplin memberlakukan rumus yang mendekati taqdir/ketentuan di sisi-Nya namun yang pada umumnya disalah fahami kebanyakan umat ialah iman kepada “taqdir”; misalnya seseorang ditaqdirkan kaya, sementara orang lain miskin; yang seperti itu rahasia ditangan-Nya. Kalau seseorang kaya namun kekayaannya tidak menjeratnya dari zakat fitrah, zakat mal, infaq, dan shodaqoh, maka orang seperti itulah yang faham atas laku agung “meninggalkan dunia” sebelum meninggal dunia, malah menjadi “hantu” kehidupan.
Keistimewaan Yogyakarta berkenaan dengan analoginya dengan MATI-nya Indonesia, yang oleh kepekaan ke-latif-annya mampu menyelaraskannya dengan “degup jantung” kehidupan yang terus-menerus menyeru nama-NYA (“Tuhan” seru sekalian alam; bukankah menurut tuntunan agama, hati seorang mukmin itu bergetar ketika mendengar NAMA-NYA diserukan? Bukankah alam ini justru terus-menerus menyeru nama-NYA?
Fokus keistimewaan DIY terletak pada konsekuensi Olah PANAH/MANAH terhadap ajaran NING-RAT/sadar kosmis yang tidak feodal, atau kadar ketetapan hati yang bulat penuh sebagaimana yang tersirat di balik nama HERU CAKRA ataupun HAMENGKU BUWANA:
 “Lakunya, metodenya, bukannya penjumlahan,
perkalian atau pemangkatan, melainkan
PEMBAGIAN 0/nol:
Bilangan berapapun kapan
serta dimanapun kalau dibagi nol
hasilnya justru infinitum/
tak terhingga."

Maka P. Senapati menitipkan nDHOG JAGAD pada Kyahi SAPU-JAGAD
“Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kecuali
yang BERKATA; Selanjutnya tidak punya
apa-apa, termasuk tidak punya RASA PUNYA
(Mulih Pulih Sangkan Paraning Dumadi/Pamoring Kawulo-Gusti)
 



(Almarhum.)Prof. Dr. Damardjati Supadjar
Guru Besar Fakultas Filsafat UGM

Kamis, 24 April 2014


CANDOLENG-DOLENG

 
Rahmi, begitulah orang tuaku memberiku nama delapan belas tahun silam. Namun lucunya, mereka sama sekali tak mengerti apa arti nama itu. Ketika SD aku pernah bertanya tentang arti nama itu. Ibuku menjawab bahwa sebenarnya nama itu diambil dari nama bidan yang membantu persalinan ibu dulu. 
“ Bidan Rahmi itu cantik dan baik sekali orangnya. Ibu berharap kelak kamu bisa seperti dia,” jelas  Ibu tersenyum sambil melipat pakaian. Oh…ternyata begitu ya? Namun karena belum puas dan masih penasaran juga, maka kuberanikan diri menanyakan lagi arti namaku pada Bu Azisah, Guru Agama di sekolahku.
“ Oh….Rahmi itu, kalau tidak salah, sama juga artinya dengan Rahman; salah satu sifat Allah, Swt.  Maha Pengasih, Maha Penyanyang …. Pokoknya namamu ini bagus, nak! Dekat dengan kebaikan… orang tuamu pastilah menginginkan sesuatu yang baik selalu mengiringi kehidupanmu,” Bu Azisah menjelaskan secara terperinci. Penjelasan yang bagus dan aku puas.
            Ternyata namaku mengandung makna yang dalam, …. Suatu kebaikan. Aku senang dengan penjelasan Bu Azisah. Tak salah aku memilih beliau sebagai guru favorit, selain cantik, baik dan lembut…dia juga pintar mengajar. Hal itu kemudian mengilhamiku untuk menjadi guru jika besar nanti. Alangkah lugu dan naifnya masa kanak – kanak, begitu banyak keinginan dan gampang pula merubahnya seketika. Padahal sebelumnya aku bercita-cita menjadi bidan seperti  bidan Rahmi sesuai mimpi ibuku.
            Namun tragisnya ,…. tanpa disangka sepuluh tahun kemudian impian itu seperti mengabur. Menginjak tahun pertama bangku menengah keadaan ekonomi kelurgaku merosot. Ayahku yang berprofesi sebagai kontraktor  tiba-tiba terserang  Stroke, lumpuh tak berdaya di kursi roda. Segala proyek dan tendernya lepas, pindah tangan. Sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ibu mencoba melanjutkan usaha keluarga turun temurun yaitu jual beras di pasar.
Sebenarnya hasil jualan itu cukuplah buat makan, namun karena dua orang abangku sedang kuliah dan terlanjur kuliah sebelum musibah datang, ibu memilih untuk terus membiayai studi mereka.  Mobil pribadi kami pun terpaksa berganti plat, dari plat hitam menjadi plat kuning agar jadi tambahan, namun belakangan mobil itu pun lebih sering masuk bengkel daripada memberi  inkam. Kami pun memutuskan untuk menjualnya.
            Begitulah keadannya berkembang. Ibuku jadi sering marah-marah. Sedikit – sedikit ngomel, sedikit – sedikit  membentak. Aku sering merasa tak tahan.
“ Kamu ini taunya minta uang saja! Apa kamu tidak lihat, ibu sekarang cari uang sendiri, Ayahmu lumpuh! Sudah buta kamu?!” 
Aku sungguh tak tahan jika mendengar ibuku ngomel seperti itu, persis seperti Eminem penyanyi Rap idolaku. Rasanya ingin lari saja dari tempat itu. Padahal yang kuminta itu terhitung masih wajar, bukan uang buat jajan, tapi untuk bayar uang sekolah yang sudah nunggak tiga bulan.
            “Lalu Saya harus bilang apa, Bu …. sama gurunya? Maluu… cuma Saya satu-satunya anak yang belum lunas bukunya di sekolah itu,”
            “Kamu berhenti sekolah saja! Ibu sudah pusing. Kamu tau tidak, abangmu minta duit lagi dua juta! “ balas Ibu tanpa berani melirik wajahku sedikit pun. Aku tahu sebenarnya ia pun tak tega mengeluarkan perintah itu kalau tak terpaksa.
            “Sana pulang ke rumah dulu, ayahmu belum makan dari siang…” tambahnya. Ya ampun, aku melirik jam tanganku , ini sudah jam empat sore, …. dan Ayahku belum makan!?. Pastilah karena Ibu sibuk di pasar, tak sempat pulang ke rumah. Hhhhh….ini sungguh menyedihkan, aku setengah berlari menuju rumah. Takut terjadi sesuatu pada ayahku.
AKU BENCI HIDUP! Jika kekesedihan tiba-tiba menjepit seperti ini, rasanya aku ingin mati saja.Untunglah, di tengah keadaan yang serba sulit seperti itu, ….. Tari selalu ada. Tari adalah kawan baikku. Kami satu sekolah. Baru bertemu langsung merasa akrab.  Ia kerap membantu keuanganku, terutama uang sekolah. Tak terhitung pula berapa uang yang telah ia keluarkan untuk sekedar mentraktirku makan. Aku sampai merasa tak punya wajah lagi di hadapannya. Untungnya ia sangat  pengertian dan baik hati. “ Rahmi kalau kamu malu aku traktir terus, kamu boleh kok menganggap semua ini utang! ..kelak jika punya uang banyak, kamu balikin! “ ujarnya mencoba memulihkan harga diriku yang gak jelas lagi harganya tinggal berapa.
            Hhhh…entahlah,….aku tak tahu harus berkata apalagi. Kenyataan ‘bahwa orang yang benar-benar baik dan tulus di dunia itu memang ada’ selalu membuatku merasa Tuhan tak pernah jauh. Aku juga selalu mengingat pesan Bu Azisah dulu,…katanya ‘Orang baik tak akan kelaparan di dunia ini, karena Allah akan selalu memberinya makan. Jadi, teruslah berbuat baik dan jangan lupa berusaha”.
            ‘BERUSAHA’ kata yang terakhir itu terus menghantuiku. Aku memang harus berusaha, berbuat sesuatu. Tak mungkinlah aku mengandalkan bantuan Tari terus-menerus. Aku harus bangkit, aku harus mencari jalan agar bisa keluar dari labirin penderitaan ini. Aku tak tahan lagi. Sementara untuk menunggu abangku lulus  kuliah dan sukses sepertinya masih lama. Aku menghela napas ……, akhirnya aku mengambil keputusan itu. Keputusan untuk menjadi penyanyi Candoleng – doleng.
Candoleng-doleng adalah Sebuah sebutan bagi biduanita di daerah Sulawesi dan sekitarnya. Profesi ini dipandang negatif oleh sebagian besar masyarakat karena Biduanita bernyanyi dengan memakai busana minim sambil menari erotis diiringi organ tunggal. Kaum pria sangat menggemarinya. Biasanya pertunjukan itu digelar di pesta kawinan. Kontanlah banyak warga yang merasa resah karena kadang anak-anak dan suami mereka ikut menyaksikan. Mereka minta aparat keamanan segera menertibkannya. Namun tetap saja  bisnis pertunjukan itu bisa mencuri-curi untuk tetap tampil terutama di pelosok desa atau kampung. Tapi dibanding dulu, sekarang ini penyanyi Candoleng-doleng memang tak  seheboh dulu. Jumlahnya tinggal sedikit. DAN AKU ADALAH SATU DARI YANG SEDIKIT ITU. Sedih yah? Bersama Tari aku roadshow ke berbagai tempat. Biasanya kami hanya mengambil job di akhir pekan, hingga tak mengganggu sekolah. Awalnya aku merasa canggung karena tak biasa, namun dengan sabar  Tari membimbingku. “ Kamu ini masih malu-malu saja! Anggap aja agak ada orang di depanmu! “ nasehatnya selalu. Lama-lama aku pun terbiasa. Bahkan kemudian aku menjadi maskot pertunjukan. Kuakui kualitas suaraku tak semerdu biduanita lain, namun goyanganku…kata orang maut!
Sungguh! Segalanya berjalan indah, dosa terasa berada di urutan  kedua, dan uang adalah pemenangnya. Pundi-pundi keuanganku pun menebal. Berkat kerja keras dan keprofesionalanku, ada seorang produser lokal yang mau mengajakku rekaman , namun kutolak.  Aku tak mau wajahku terpampang di mana-mana. Sedapat mungkin aku tetap ingin menjaga nama keluarga besarku.  Untunglah selama ini aku tak pernah menggunakan nama asliku.
            Ayahku tak tahu menahu mengenai hal ini. Sekuat tenaga aku menyembunyikannya. Ibu dan abang-abangku juga kuminta untuk tutup mulut jika ingin ekonomi keluarga terus tertopang olehku. Kadang terasa aku ingin off saja dan menjadi penyanyi biasa, namun jika ingat pendapatannya lebih sedikit, aku urungkan niat itu. Biar saja dulu, inilah caraku dalam mengumpulkan uang banyak. Walaupun aku tau Ayah paling benci penari Candoleng- doleng! Jika tau aku pasti dibunuhnya atau diusir. Tak diakui lagi sebagai anaknya.
            Suatu ketika aku kaget setengah mati ketika tanpa disangka Ayah menanyakan itu padaku, rupanya ia pernah mendengar sepintas lalu orang membicarakanku di balik jendela. Ia tak sengaja mendengar informasi itu. Bibirku tiba-tiba tercekat, entah harus menjawab apa. Selama ini aku sebenarnya diam-diam bersyukur juga ayahku menderita lumpuh dan bukan yang sakit lainnya, hingga tak bisa mengunjungi tempatku beraksi dan berinteraksi lebih dengan orang lain. Rasa syukur  yang aneh yah? …… maafkan anakmu yah.
            “ Ah itu bohong, Yah! Jangan dengar kata mereka . Aku memang penyanyi tapi bukan penyanyi Candoleng-doleng! Mana mau aku begitu……, ayah harus percaya padaku!” ujarku meyakinkan, walau dalam hati menangis karena  telah membohongi ayah sendiri. Untuk pertamakali Aku melihat ayah mengeluarkan air setetes air di sudut matanya. “ Sungguh yah, nak. Kamu gak bohong ! kamu tau penyanyi Candoleng-doleng itu seronok sekali. Ayah takut Allah akan melaknat kita. Kamu puteri kami satu-satunya, ……. gak apa-apa jadi penyanyi, tapi jangan Candoleng-doleng….! Memang penyanyi biasa gajinya sedikit, tapi itu tak masalah asalkan berkah. Untuk apa dapat uang banyak kalau tak halal? Semoga kamu masih mau mendengar nasihat ayahmu yang lumpuh ini. Seorang ayah yang tak bisa lagi memberimu apa-apa selain nasihat baik. Maafkan ayah ... yah, gara-gara sakit ini kamu terpaksa jadi tulang punggung keluarga, “ Aku pun menghambur memeluknya.  Kasihan Ayahku….., lemah tak berdaya.
            Ibu pun tak kurang menasehatiku tiap ada waktu, “ Nak apa tak ada pekerjaan lain yang bisa kamu kerjakan?” terlihat gurat cemas di wajahnya. “ Ibu tak tahan mendengar gunjingan tetangga. Ibu juga khawatir….. nanti tak ada pria baik-baik yang mau menyuntingmu,”
“ Tapi mau kerja apalagi, Bu??...Pelacur…atau jaga toko? Berapa gajinya Bu? Gak akan cukup. Lagipula aku harus sekolah. Hanya ini pekerjaan yang sesuai untukku ” balasku sedikit kesal. “ Gak usah dengar kata orang! aku juga tak akan begini terus,…. Ini hanya sementara. Ibu kan tau kalau aku jadi penyanyi biasa, pemilik organ akan jarang memakaiku. Jadi sabarlah…ini hanya sementara, moga abangku cepat lulus yah”. Ibu pun memelukku sambil menangis, “ Maaf yah! Maafkan kami tak bisa membahagiakanmu ..tak bisa menjagamu…..,”.
            “ Dahlah, Bu! aku harus berangkat! Tari sudah menungguku. Hari ini kami manggung di Pare-Pare, besok subuh pulang! “ kataku sambil membenahi koper. Ibu diam saja. Kasihan juga melihat Ibu, wajahnya bertambah tua saja kelihatannya karena masalah.  Terbayang  dulu ibu rajin ke salon, sekarang… alamat salon itu aja dia pasti sudah lupa!
            Rombongan Kami biasa berangkat dengan menumpang mobil Pick up. Bersama Kami terguncan-guncang di atas Pick up. Kadang aku melamun, ingat keluargaku terutama wajah Ibu dan Ayah. “ Kenapa…, Mi? “ tegur Tari. Gelapnya malam rupanya tak mampu menyembunyikan wajahku yang mashgul. “ Entah mengapa tiba- tiba aku ingat Ayahku. Aku ingat perkataannya beberapa bulan lalu ,” jawabku tanpa gairah. “ Ucapan Ayahmu yang mana?” selidik Tari. “ Ayahku bilang, Candoleng-doleng itu tak baik. Kurasa aku akan mencari pekerjaan lain, Tar. Aku takut, ”
“ Takut apa?” suara Tari pun mulai tak sekeras tadi seperti mulai menyelami pikiranku. “ Takut mendapat Adzab, takut dilaknat! Kamu tau, pekerjaan kita ini menyuburkan pornografi. Kita ikut membuat orang lain tersesat. Pasti itu salah satu alasan orang tuaku juga melarang pekerjaan ini.”
            “ Ya Allah! Astagfirullah ….., Naudzubillah mindzlaik . Jangan bicara begitu, ah!“ Tari menggeser  lalu menggeser duduknya lebih dekat padaku. Ramai beberapa biduan dan biduanita lain serta crew organ tunggal berbincang di sekitar kami membahas masalah mereka sendiri-sendiri. Sama seperti kami yang tak peduli , mereka pun tak peduli obrolan kami.
 “ Ini memang berdosa, Mi. Tapi kan kita terpaksa melakukannya. Lagipula  Tuhan pasti mengerti. Kalau mau protes, proteslah pada penguasa…karena mereka  kita jadi begini. Bukannya memikirkan nasib rakyat kecil, sebaliknya mereka  memeras kita, mencuri uang rakyat! Andai tak ada korupsi, aku yakin kemiskinan tak sebanyak ini.” Keluhnya. Yah, itu betul juga!
“ Dahlah, gak usah marah-marah. Aku luamyansuka ucapanmu, Tuhan pasti mengerti.  Tapi  darimana kamu tahu kalau Tuhan pasti mengerti, jika jelas-jelas ini pekerjaan yang tak baik? ”
            “ Dahlah, Mi. Gak usah mikir yang baik-baik dulu. Kalau kamu ganti pekerjaan sekarang, mungkin kamu akan kekurangan. Penghasilan penyanyi biasa berapa sih!? Yah, sebenarnya cukup kalau dicukup-cukupin, tapi katanya kamu ingin kuliah?”
            “ Iya, hehehe….Kamu sendiri, apa rencanamu?”
            “ Aku mau menikah saja, Mi. Imran pacarku, tahun depan wisuda. Aku bekerja begini kan juga untuk dia juga. Jangan bilang siapa-siapa yah? Aku malu! Masa aku yang harus membiayainya, hihi… namanya juga kekasih. Aku percaya padanya, kelak dia akan melamarku, setelah lulus nanti”.
            “ Baguslah! Mudah-mudahan begitu”.
            Tak terasa kami pun tiba di tempat tujuan.Pemilik organ meminta kami untuk tak bergoyang terlalu erotis kali ini karena banyak sorotan. Yah, kami ikut saja…maunya apa. Yang penting bagi kami duitnya saja. Rencananya kami akan tampil dua kali, siang dan malam. Namun urung pertunjukan itu selesai, aku menerima telepon dari rumah.
Ayah meninggal!
Deg, jantungku terasa berhenti berdetak. Tak terkatakan  sedihnya. Dadaku sesak. Air mataku tumpah di sepanjang jalan yang tertempuh kurang lebih tiga jam itu. Akhirnya aku tiba, kulihat bendera kecil tanda kematian terpancang di depan rumahku yang telah disesaki orang. Ibu segera menemuiku, Kami berpelukan lama sekali. “ Bagaimana ceritanya, Bu………?” tanyaku. Ibupun mulai bercerita bahwa tiba-tiba semalam jantung Ayah sesak. Di sela-sela waktu Ibu bercerita, kulihat dua orang abangku sibuk melayani tamu yang melayat. Setelah puas menciumi wajah Ayah dan berkeluh-kesah di depan mayatnya, kudengar Ibu memanggilku. Wajahnya terlihat cemas sekali. Aku pun menghampirinya.
“ Sudahlah, nak! Kamu gak usah sedih, relakan saja Ayahmu yah?” nasihat Ibu. Aku mengangguk walau kesedihan itu masih besar. Sedih karena belum bisa membahagiakan ayah, sedih karena pernikahanku kelak tak disaksikan lagi olehnya.“ Kesini sebentar..’ Ibu lalu menarikku ke kamar. Sepertinya rahasia sekali, aku pun penasaran. “ Nak, sebelumnya Ibu minta maaf yah? …tapi apa kamu punya tabungan nak? Ibu bingung cari uang kemana untuk biaya pemakaman Ayahmu..kamu ada?” pelan sekali  Ibu bicara. “ Ada Bu…perlu berapa memangnya?” tanyaku. Setelah mengiyakan spontan Ibu memelukku sambil menangis lega. Bang Sani lalu memboncengku ke ATM. Sepanjang jalan kami diam saja, tak mengobrol karena terlalu sedih. Tapi kurasa kesedihanku tak terkalahkan oleh apapun di dunia ini.
Seminggu setelah kepergian ayah aku menghubungi bosku dan menyatakan berhenti bekerja. Tari langsung panik, “Kenapa berhenti Mi? Bukankah rencanamu masih banyak. Kamu perlu uang! “ tukasnya. “ Iya. Aku tau tapi bukan dengan jalan begini.  Kuharap kamu pun mau mengikuti jejakku, Tar. Cari pekerjaan yang lebih baik! Mengenai impianku untuk kuliah, kalau memang Allah mentakdirkannya, Insya Allah ada jalannya! Maaf Tar, aku tak akan memaksamu ... tapi aku benar-benar akan berhenti. Kematian ayahku kemarin telah menyadarkanku. Asal tau saja, biaya pemakaman ayah kemarin aku bayar dari hasil menyanyi Candoleng-doleng yang dibencinya.... hiks! Anak macam apa aku ini!? Hiks....” aku pun histeris tak sanggup menahan tangis. “ Kuyakin kamu pun tak ingin mengulangi hal buruk ini, sahabatku....hiks! “ lanjutku masih dengan tangisku. Sementara Tari terdiam di seberang sana kehilangan kata-kata.
                           
                                                                                                Penulis : Wahida Waris