Selasa, 26 Januari 2016

JAMAN MOSPRO
merapikan yang sudah rapi
menyembuhkan yang sehat
menanti yang sudah mendahului
meninggalkan yang menanti
menyalahkan yang benar
membenarkan yang salah

JAMAN EMBUH
berkaca di air keruh dan bergelombang
rasah dipikir, dilakoni wae
rasah kakean wuwus, digegeyu wae
gramane mobat-mabit nyamber kono kene
kurang bejane dadi karang abang
gunung podo gumregah
bumi miring segoro kocak

JOKO BADEG

Jumat, 02 Mei 2014



Geliat Seni Reog Ponorogo

Di bawah matahari yang terik pada Jumat siang tanggal 12 Oktober 2012, ada sebuah keramaian yang tak biasa di lapangan Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Sleman. Ternyata sebuah pertunjukan seni reog yang cukup menarik. Dikatakan demikian karena pertunjukan reog siang itu melibatkan 20-an paguyuban seni reog dari Ponorogo dan Madiun. Seolah menjawab tantangan zaman mereka dengan penuh semangat memainkan peranan-peranan dalam kesenian khas Ponorogo tersebut dengan sepenuh hati.

Ada sejumlah nama paguyuban seni reog yang ikut serta dalam acara yang dikemas seperti festival ersebut, antara lain; Paguyuban Seni Reog Singo Budoyo, Singo Yehuda, Singo Ludro, dan Singo Yudho Mulyo. Atraksi yang ditampilkan selain gebyar reog bersama, jathilan, atraksi barong, atraksi kucingan, warok Ponorogo, dan atraksi panjat bambu. Menurut Sugiono, pimpinan Seni Reog Joyo Manunggal dari Madiun, yang juga ikut serta dalam acara tersebut, pertunjukan reog gabungan tersebut akan berlangsung 11 hari di 11 tempat yang berbeda. "Saya bersyukur para pemuda di Madiun semakin menunjukan ketertarikannya pada seni reog, ini bagus untuk upaya pelestarian seni reog ." katanya mantap.

Seni reog Ponorogo merupakan kesenian budaya khas Ponorogo yang biasanya di awal pertunjukan tak lepas dari pertunjukan jathilan, yang dimainkan oleh seorang perempuan dengan menungangi kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam. Seni reog biasa menampilkan kepala singa yang di­padu dengan bulu merak yang dirangkai tegak berdiri di atasnya. Menurut Glondor, seorang pebarong (sebutan untuk pemain barong) dari Madiun, harga satu Dadak Merak (sebentuk kepala harimau yang dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram, red) saat sekarang mencapai 15 juta rupiah. Hal ini dikarenakan di pasaran harga bulu merak relatif mahal, sehingga saat ini pembuatannya sampai banyak yang harus mengimpor dari luar negeri.

Di sebelah barat alun-alun Ponorogo, banyak dijumpai pernak – pernik reog mini yang dijual dengan kisaran harga minimal 1 jutaan. Di setiap bulan Muharam atau Suro, di tempat tersebut biasa diadakan festival reog yang di ikuti oleh seluruh paguyuban seni reog yang berasal dari berbagai daerah lain, tidak hanya dari Ponorogo, tetapi juga dari kota-kota lain di Pulau Jawa, bahkan dari luar Jawa.

Reog identik dengan para warok, yang mana kata warok menurut sesupuh Ponorogo yang tak mau disebutkan namanya berasal dari kata wiro’i yang dalam Bahasa Arab bermakna orang yang menjauhi barang-barang samar atau yang belum tentu jelas kebenaran halal-haramnya. Sedangkan nama Ponorogo berasal dari kata fana raga yang artinya ketiadaan jasad.

Kisah asal mula seni reog berasal dari kerajaan Kediri. Pada saat itu sang raja mempunyai putri cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit, yang masih belum mempunyai pasangan. Belum menikahnya sang putri membuat gundah raja, sehingga rajapun memanggil Dewi Sanggalangit agar mau untuk menikah. Dewi Sanggalangit bersemadi untuk mencari petunjuk dari yng Maha Kuasa, dan dalam semedinya putri cantik terse­but menerima wangsit bahwa calon suaminya harus mem­persembahkan sebuah tontonan yang menarik, semacam tarian yang diiringi tabuhan dan gamelan, dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor, dan harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua. Semuanya itu nantinya akan dijadikan iringan pengantin.

Dalam versi lain dikisahkan legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipenga­ruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedang­kan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna.
***NCH/Sangkakala


Meneladani Sunan Geseng dalam Mematuhi PerintahGuru

Sunan Kalijaga
Sunan Geseng, atau sering pula disebut Eyang Cakrajaya, adalah murid Sunan Kalijaga. Selain mempunyai garis keturunan dari Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya,ia adalah keturunan Imam Jafar ash-Shadiq, dengan nasab: Sunan Geseng bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husein bin Askib bin Mohammad Wahid bin Hasan bin Asir bin 'Al bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali.
Kisah tentang Sunan Geseng adalah kisah tentang kepatuhan seorang murid terhadap guru spiritualnya, Sunan Kalijaga. Apapun yang sudah ditugaskan oleh guru, sang murid siap menjalaninya walaupun resikonya sangat besar. Akan tetapi, dibalik resiko besar itu terkandung hikmah untuk dijadikan teladan oleh generasi-generasi sesudahnya, dan resiko itupun sudah terukur sesuai dengan kemampuan, kapasitas, serta maqomsi murid.
Menurut hikayat, pada suatu saat Raden Cakrajaya mengikuti anjuran Sunan Kalijaga untuk mengasingkan diri di suatu hutan untuk konsentrasi beribadah kepada Allah. Di tengah lelakunya itu, hutan tersebut terbakar, tapi beliau tidak mau menghentikan tapanya, sesuai pesan sang guru untuk jangan memutus ibadah, apapun yang terjadi, sampai sang guru datang menjenguknya. Demikianlah, ketika kebakaran berhenti dan Sunan Kalijaga datang menjenguknya, dia dapati Cakrajaya telah menghitam hangus, meskipun tetap sehat wal afiat. Maka digelarilah beliau dengan Sunan Geseng.
Pintu Makam Sunan Geseng
Menurut Juru Kunci Makam Sunan Geseng, Supadiono, makam Sunan Geseng yang ada di Jolosutro Piyungan tidak terlalu ramai diziarahi, mungkin karena letaknya yang agak susah dijangkau karena untuk sampai ke sana harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan menanjak kira-kira dua kilometer, atau bisa saja karena kurangnya informasi bahwa di tempat tersebut terdapat makam seorang waliyullah yang merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga. Sementara juru kunci lainnya, Wanto, menjelaskan mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) semasa hidupnya juga pernah berziarah ke makam Sunan Geseng dengan cara ditandu oleh empat orang warga setempat secara bergantian. “Waktu itu Gus Dur beserta rombongan pengiringnya berjalan menuju makam Sunan Geseng dari arah atas, bukan dari Jolosutro. Warga yang bergantian menandunya dikasih uang masing-masing 50 ribu rupiah, merekapun tentunya sangat senang melakukannya. Selain dapat dekat tokoh nasional seperti Gus Dur, juga dikasih imbalan.”
Dalam kisah versi lain, diceritakan, saat ditemukan Cakrajaya masih dalam keadaan bertapa menunggu tongkat Sunan Kalijaga. Untuk mengembalikan kesadaranya,Sunan Kalijogo memandikan Cakrajaya dipinggir Sungai Oya tepatnya di batu yang telah keluar mata airnya bekas ditancapkanya tongkat Sunan Kalijogo. Upaya tersebut  ternyata belum bisa membuat pulih total kesadaranya, maka di Sendang Banyu Urip dimandikanlah lagi Cakrajaya.Untuk mengetahui seberapa jauh tingkat kesadaran dan keilmuannya, Sunan Kalijaga bertanya dengan apakah untuk mencapai kesempurnaan hidup, apakah dengan mengetahui jati diri atau kelinuwihan (kelebihan). Cakrajaya memilih kelinuwihan, sedangkan Kanjeng Sunan sendiri lebih cenderung pada jati diri. Maka timbulah perdebatan ‘’jati, luwih, jati, luwih”. Karena keduanya memang mempunyai keilmuan yang linuwih apa yang di ucap jadilah maka terjadilah. Dengan irodah Illahi, jadilah sebuah pohon jati yang memiliki daun seperti kluwih,hingga sekarang yang dapat kita lihat di Desa Jatiluwih, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Makam Sunan Geseng, Jolosutro, Piyungan, Bantul
Makam Sunan Geseng (Ki Jolosutro) terletak di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 km di sebelah kanan Jalan Yogyakarta-Wonosari Km. 14 (kalau datang dari Yogyakarta). Setiap tahun ada perayaan dari warga setempat untuk menghormati Sunan Geseng. Masyarakat setempat menyebutnya tradisi Rasulan.
Selain di dekat Pantai Parangtritis Yogyakarta, makam Sunan Geseng juga dipercaya terdapat di sebuah desa yang bernama Desa Tirto, di kaki Gunung Andong, dekat Gunung Telomoyo. Secara administratif daerah tersebut di bawah Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Masyarakat sekitar makam khususnya, dan Grabag pada umumnya, sangat mempercayai bahwa makam yang ada di puncak bukit dengan bangunan cungkup dan makam di dalamnya adalah sarean (makam) Sunan Geseng.Pada Bulan Ramadhan, pada hari ke-20 malam masyarakat banyak yang berkumpul di sekitar makam untuk bermunajat. Selain itu, di Desa Kleteran (terletak di bawah Desa Tirto) juga terdapat sebuah Pondok Pesantren yang dinamai Ponpes Sunan Geseng. (NCH/Sangkakala)
(diolah dari berbagai sumber)


Mahkota Dewa Untuk Berbagai Macam Penyakit

Mahkota Dewa (Phaleriamacrocarpa/Phaleria papuana) merupakan tanaman yang habitat alamnya berasal dari Papua (Irian Jaya). Sebutan atau nama lain untuk Mahkota dewa cukup banyak. Ada yang menyebutnya Pusaka dewa, Derajat, Mahkota Ratu, Mahkota Raja, Trimahkota. Di Jawa Tengah, orang menyebutnya dengan nama makuto dewo, makuto rojo, atau makuto ratu. Orang Banten menyebutnya raja obat. Nama ini diberikan karena pohon ini mampu mengobati aneka penyakit. Sementara itu, orang Cina lebih suka menyebutnya pau atauShianThnoyang berarti obat pusaka. Tidaklah mengejutkan jika beberapa orang pun meng-Inggris-kan namanya menjadi The Crown of GOD.
Mahkota Dewa adalah tanaman aperduk yang bisa mencapai ketinggian lima meter. Ia dapat tumbuh dari ketinggian 10 m dpl (diatas permukaan laut) hingga 1.200 m dpl.Bahan yang dapat dimanfaatkan untuk obat dari tanaman mahkota dewa adalah daging buahnya. Buahnya berwarna merah bila sudah matang. Ukurannya bervariasi mulai dari sebesar bola ping-pong sampai buah apel. Semakin tua warna buah semakin gelap, daging buahnya berwarna putih rasanya sepet.
Padahal buah mahkota dewa itu sangatlah beracun apabila tidak diolah terlebih dahulu. Buah yang dipanen adalah yang sudah benar-benar matang, sehat dan tidak terkena penyakit. Cirinya tampak segar, tidak ada cacat sedikitpun dan warnanya merah marun.
Buah yang baik dibersihkan dengan air lalu jemur. Untuk mempercepat pengeringan, buah diiris tipis-tipis terlebih dahulu. Sebaiknya dengan pisau anti karat. Pengeringan dilakukan selama 3-4 hari. Setelah kering, disangrai selama 5 menit diatas api kecil untuk menghilangkan bakteri, sehingga aman untuk digunakan.
Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada buah mahkota dewa terdiri dari golongan alkanoid, tanin, flavonoid, fenol, saponin, lignan. minyak aisri dan sterol. Senyawa lignan baru yang terdapat dalam daging buah mahkota dewa berfungsi sebagai anti kanker dan antioksidan. Buah mahkota dewa ini memiliki Efekfarmakologi: anti tumor, anti disentri, anti insekta, mengobati eksim, hepatotoksik dan anti bodi.
Seorang ahli farmakologi dari Fakultas Kedokteran UGM, dr. Regina Sumastuti, berhasil membuktikan bahwa mahkota dewa mengandung zat antihistamin. Zat ini merupakan penangkal alergi. Dengan begitu, dari sudut pandang ilmiah, mahkota dewa bisa menyembuhkan aneka penyakit alergi yang disebabkan histamin, seperti biduren, gatal-gatal, selesma, dan sesak napas. Penelitian dr. Regina juga membuktikan bahwa mahkota dewa mampu berperan seperti oxytosin atau sintosinon yang dapat memacu kerja otot rahim sehingga persalinan berlangsung lebih lancar.
Dra. Lucie Widowati dari Puslitbang Farmasi dan Obat Tradisional Depertemen Kesehatan.“Saya meneliti Mahkota Dewa dari tahun 2003,”ujar Lucie. Hasilnya menunjukkan, biji mahkota dewa sangat toksik. Sementara buahnya tidak. Lucie juga menyimpulkan zat dalam buah mahkota dewa meliputi alkaloid, tanin, saponin, flavonoid, polifenol.

Dalam abstraksi laporannya, Lucie menyebutkan buah Mahkota Dewa bersifat sitotoksik terhadap sel kanker rahim (sel HeLa) dan sel leukemia. Menurunkan kadar gula darah, menurunkan asam urat. Bersifat antioksidan sebagai scavenger radikal bebas. Juga menurunkan kadar asam urat.
Sementara itu menururt hasil penelitian Dra. Vivi Lisdawati Msi,Apt dari FMIPA Universitas Indonesia, membuktikan bahwa kandungan senyawa kimia golongan alkaloid, terpenoid, lignin (polifenol), flavanoid dan juga senyawa resin dalam mahkota dewa adalah golongan senyawa kimia yang berkaitan dengan aktivitas anti kanker dan antioksidan. Namun demikian, menurut Dra. Vivi Lisdawati Msi,Apt, berdasarkan hasil pengujian ekstrak mahkota dewa memiliki toksisitas yang sangat tinggi sehingga pemanfaatannya sebagai obat tradisional harus dengan takaran yang sangat berhati-hati.

ARSITEKTUR DAN BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT JAWA

Oleh: Dr. Ir. Arya Ronald

Kebudayaan Jawa sebagai sebuah wawasan menunjukkan bahwa masyarakat Jawa memiliki satu bentuk pandangan hidup yang cukup matang, hal itu ditandai dengan aneka kepercayaan yang mereka anut, aneka pengetahuan atau keilmuan yang diserap, kehidupan yang penuh dengan etika dan nilai estetika yang berpola sangat mendasar. Salah satu bentuk pandangan hidup yang dapat diterangkan secara panjang lebar adalah faham kejawen, yang hidup di antara kepercayaan dan agama yang berkembang saat itu. Sebagai sebuah faham, maka faham inipun mempunyai bentuk ajaran yang cukup mantap, antara lain dalam filsafat kosmologi Jawa, yang mampu mengawali perkembangan teologi di kemudian hari. Pada masa kejayaannya, faham ini berkembang dan telah begitu mengakar dalam sebagian besar hidup berbudaya mereka, sehingga sampai saat inipun faham itu masih banyak dijumpai berada dalam kehidupan masyarakat Jawa. Kalau faham ini cenderung muncul dalam ungkapan yang dipergunakan dalam rangka berkomunikasi dengan pihak lain atau berbahasa, salah satu bentuk bahasa yang lain yaitu bahasa non-verbal, terungkap dalam karya mereka yaitu rumah tinggal – sebagai salah satu karya arsitektur mereka.
           
Dalem Bupati Juru Kunci Puralaya, Imogiri
Arsitektur sebagai salah satu hasil karya budaya masyarakat Jawa – seperti yang telah dinyatakan sebelum ini, mengandung beberapa prinsip yaitu ungkapan fungsional, estetika dan susunan detil konstruksi. Dalam kenyataan yang dapat diketemukan dalam artefak yang mereka tinggalkan dari sejak jaman lalu, terlihat bahwa baik ungkapan fungsional, estetika maupun konstruksi erat hubungannya dengan pola pikir dan perilaku mereka, yang banyak mengacu pada faham kejawen sebagai landasan filsafat kosmologinya. Seperti dapat dilihat pada sebuah bangunan rumah tinggal jabatan Bupati Juru Kunci Puralaya di Imogiri, yang dalam gaya, sifat maupun kegunaan bangunannya memperlihatkan peran, status dan kedudukannya sebagai pelayan keraton (abdi dalem), yang berkewajiban menerima Sultan bersama keluarganya sebelum meneruskan perjalanan berziarah ke makam raja-raja di bukit Imogiri dan juga mengayomi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Semisal dalam sebuah ungkapan Jawa ‘manunggaling kawula lan gusti’, memberikan indikasi cukup kuat bahwa existensi seseorang (dalam gambar ditunjukkan contoh rumah jabatan Juru Kunci makam raja-raja di Imogiri, Bantul, DIY) berada menyatu dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih besar yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sehingga terbentuklah suatu keseimbangan bernilai universal. Ungkapan semacam itu pada awalnya merupakan suatu ajaran atau nasehat (pitutur), namun ternyata dapat diterjemahkan atau ditransformasikan ke dalam aneka bentukan – baik yang tampak (tengible) maupun tidak tampak (intengible). Salah satu bentuk yang tampak adalah perujudan arsitektur rumah Jawa, terdiri dari beberapa bangunan yaitu Topengan, Pendhapa, Pringgitan, Dalem Ageng, Andong Sekar, Gedhong Abang, Gedhong Kanthil, Pawetan, Patehan, Paseban, Gedhong Gangsa dan Regol. Kalau ungkapan itu sebuah ajaran, maka demikian pula halnya dengan arsitektur rumah Jawa – dengan penamaan dan pembedaan fungsi tiap bangunan, dapat mereflexikan keberadaannya menjadi suatu bentuk ajaran pula. Ajaran itu khususnya ditujukan kepada penghuninya dan secara umum kepada pihak lain yang berhubungan sosial dan budaya dengan penghuni rumah ini.
            Arsitektur sebagai sebuah karya budaya dapat menempatkan diri menjadi salah satu bagian dari unsur kebudayaan Jawa – yang terdiri dari bahasa, sistem kepercayaan, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pengetahuan, teknologi dan kesenian. Bilamana diarahkan kedudukan rumah Jawa dalam kajian kebendaan, maka objek itu dekat dengan unsur teknologi dan kesenian (seni bangunan), namun seperti telah disinggung sebelum ini bahwa ternyata unsur kebudayaan Jawa yang lain juga melekat pada rumah itu, seperti halnya faham kosmologi yang kadang-kala meningkat menjadi sebuah kepercayaan, bahasa arsitektur, status sosial penghuni, derajat ekonomi penghuni dan kapasitas seseorang dalam pengembangan ilmu dan teknologi di kalangan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Dalam hal demikian ini keberadaan arsitektur rumah Jawa dapat dijadikan acuan yang cukup berbobot untuk mengenal manusia dan masyarakat Jawa seutuhnya – baik dalam aras peran, kekuasaan maupun kekuatannya, yang terjadi dalam lingkup kehidupan budaya Jawa.
Pembangunan rumah tinggal di mana dan kapanpun merupakan masalah hidup utama, sebab rumah merupakan salah satu dari tuntutan kebutuhan utama manusia. Masalah kebutuhan utama hidup manusia yang difahami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa khususnya adalah pangan, sandang dan papan; yang terakhir yaitu papan diterima secara sempit sebagai tempat tinggal atau rumah, meskipun secara lebih luas lagi dapat berarti bahwa semua tempat yang akan dipergunakan untuk tinggal manusia - baik dalam waktu singkat maupun lama – adalah papan yang dipungut dari istilah Jawa papan dan mapan (mantab atau stabil). Dengan pemahaman ini dapat ditafsirkan sementara bahwa masyarakat ini selalu berusaha untuk hidup dan menetap lebih matab dalam waktu yang lama, sehingga diungkapkan kemudian dengan istilah kerasan atau dapat bertahan lama. Agar supaya kehidupan itu menjadi stabil, maka hubungan satu dengan lain anggota masyarakat harus sampai ke tingkat akrab, saling memperhatikan, bahkan juga saling tolong-menolong atau gotong-royong – seperti terlihat pada upaya mereka membangun rumah, yang pada dasarnya selalu mendapat bantuan dari tenaga para tetangga di sekitarnya. Kejadian itu terdapat dalam gambar pembangunan rumah yang ditemukan di sebuah desa Wilangan, Kecamatan Tamansari, Ponorogo.
Belum lagi, ternyata bahwa pembangunan rumah tinggal itu sendiri saat ini tidak lagi sama dengan pada masa yang lalu. Seperti terlihat dalam gambar contoh ini, bahwa rumah itu dikerjakan oleh para tetangga di sekitarnya – kalau di pedesaan, sedang kalau di perkotaan kebanyakan sudah diserahkan begitu saja kepada pemborong bangunan secara profesional. Bagi generasi lampau pembangunan dipandang sebagai proses mendirikan rumah yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang, mulai dari perencanaan sampai dengan mewujudkan bangunan itu, sedangkan sekarang pembangunan dapat dianggap suatu kegiatan yang tidak perlu dilakukan sendiri oleh calon penghuninya. Dengan demikian, masalah yang berkaitan dengan pembangunan rumah telah bergeser dari tanggung-jawab keluarga menjadi tanggung-jawab umum atau bahkan pihak pemerintah.
            Bagi manusia Jawa rumah adalah bagian dari kehidupan budaya, yang pada masa yang lalu merupakan bayangan cermin dari kepribadian manusianya, yang sebagian dapat dilihat dari penampakan luarnya - namun dengan mempelajari bagian-bagian dari rumah dapatlah segera diketahui nilai kepribadian manusia yang melatar-belakangi kehadiran rumah dalam lingkungan permukiman itu. Dari kedua sisi itu yaitu kebudayaan dan kepribadian, masing-masing dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsurnya, yang artinya bilamana dicari rumusan yang berkaitan dengan kebutuhan manusia akan rumah tinggal yang timbul dari persilangan itu, dapatlah segera difahami bahwa ternyata keberadaan rumah bagi tiap individu yang bergabung dalam sebuah rumah tangga mengandung banyak sekali pertimbangan. Unsur kebudayaan itu adalah: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian hidup, religi atau kehidupan beragama atau berkepercayaan dan kesenian.[1] Unsur kepribadian adalah: pengalaman melakukan hubungan antar manusia, sistem nilai, pola pikir, sikap hidup, perilaku hidup dan kaidah hidup. Bilamana kedua unsur itu dipersilangkan, seharusnya akan muncul sebuah karya dari hasil berbudi daya, sekaligus karya itu akan memancarkan sinar kepribadian dari pemilik atau penghuninya.
             Beberapa aspek yang akan mempengaruhi proses pembangunan rumah tinggal - baik pada masa yang lalu, maupun sekarang - perlu difahami perubahan pengaruhnya, mengingat bahwa dengan aspek yang sama ternyata menghasilkan existensi rumah tinggal yang berbeda. Dengan memahami proses pembangunan rumah tinggal dan kaitannya dengan kehidupan budaya dan perkembangan kepribadiannya dapat dibayangkan bahwa pembangunan rumah seharusnya dari waktu ke waktu akan selalu mengalami perubahan, baik itu dipengaruhi oleh tuntutan dari dalam maupun tantangan dari luar. Kalau yang mempengaruhi proses itu masih dalam lingkup kebudayaan dan kepribadian saja, maka tuntutan dari luar dan dari dalam telah cukup untuk melakukan berbagai perubahan dalam proses pembangunan rumah. Yang perlu dikhawatirkan adalah bilamana pembangunan itu tidak lagi memiliki landasan kebudayaan, apalagi kalau itu semua dilakukan dengan mengabaikan kepribadian yang seharusnya melekat pada diri orang yang berkepentingan membuat rumahnya sendiri.
Pembangunan rumah secara gotong-royong
Dengan demikian telah menjadi satu kenyataan, bahwa terdapat pergeseran pola dari tanggung-jawab keluarga menjadi tanggung-jawab umum. Salah satu aspek dari masing-masing sisi yang dapat dipastikan mempengaruhi proses ini adalah sistem pengetahuan dari sisi kebudayaan dan pola pikir dari sisi kepribadian, telah cukup untuk merubah proses itu. Secara umum, keduanya telah bertolak dari alam kehidupan tradisional yang statik – menurut pendapat orang yang anti tradisi - menuju pada kenyataan global yang dinamik.



[1] Koentjaraningrat, 1979, Pengantar Ilmu Antropologi

Doa Bersama Lintas Keyakinan di Borobudur dan Bangkitnya Ruh Nusantara

Prof. Dr. Damardjati Supadjar didanpingi pejabat yang mewakili Bupati Magelang
Acara Spiritual Lintas Keyakinan telah sukses digelar di Borobudur pada tanggal 21 Juni 2012. Acara yang diprakarsai oleh Pemilik Rumah Herbal di sekitar kaki Gunung Arjuno, Guntur Bisowarno, dan diketuai oleh Jack Priyana yang kemudian membentuk Komite Penggerak Budaya Borobudur tersebut, berjalan lancar diikuti oleh 21 peserta termasuk peserta dari DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra Utara (Medan). Komite tersebut dibentuk atas ide Gus Nur (Pimpinan Ponpes Gapuro), dengan tim pengonsep Sulkhan, Jack Priyana, dan Nurcholish. Dalam rangkaian acara yang berlangsung khidmat tersebut diikuti pula oleh Prabowo Respatyo Caturroso, MM, Phd (Dirjen Peternakan Kementrian Pertanian RI), Pimpinan Pondok Pesantren, Perwakilan Pengelola Taman Borobudur, warga Borobudur, seniman, serta para pemimpin Paguyuban Seni dan Spiritual yang ada di wilayah Magelang dan sekitarnya, termasuk dari Jogja dan Solo.
Do’a bersama juga dilakukan serentak di wilayah Wonosobo, Parakan, Temanggung, dan Ngadirejo yang melibatkan 15 Pondok Pesantren di  tempat masing-masing dipimpin oleh 71 para sesepuh termasuk Pimpinan atau kyai Ponpes. Daerah Salatiga, Grabag Magelang dan sekitarnya melibatkan 17 Pondok pesantren dipimpin oleh 35 sesepuh termasuk Pimpinan atau Kyai Ponpes. Kira-kira pukul 21.20 dimulailah acara do’a bersama lintas keyakinan, semua peserta berpencar di sekitar Museum Borobudur,
menempatkan diri di area yang menurut mereka pas untuk berdo’a memohon kepada Tuhan Yang Maha Agung agar Negara Indonesia diberikan jalan keluar dari segala permasalahan, sehingga tercapailah Negara yang adil, makmur, sentosa dan sejahtera. Dalam waktu yang bersamaan dimulailah do’a bersama di tempat
yang berbeda, yang sebagian besar dilakukan oleh para kyai dan santri dari berbagai pondok pesantren serta beberapa kelompok atau paguyuban
seni dan budaya spiritual yang ada di lingkup DIY-Jateng seperti Salatiga, Temanggung, Magelang, dan Penduduk Lereng Merapi.Mereka berdo’a di tempat masingmasing
sesuai dengan keyakinan masing-masing. Acara yang bertemakan “menetralisir unsur-unsur negatif yang tidak sesuai dengan tuntunan agama apapun” tersebut, seiring perjalanan waktu kemudian disusul dengan acara
Sarasehan dan do’a bersama pada tanggal 5 Juli 2012 di Pelataran Candi Borobudur yang diikuti oleh beberapa element penting lintas keyakinan termasuk dihadiri pula oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar (guru besar Filsafat UGM), M. Sayyidil Mursalin/ Gus Nur (Pimpinan Ponpes Gapuro& Ketua Lembaga Adat Nusantara Yayasan Poetro Negoro), Pejabat yang mewakili Bupati Magelang, Perwakilan PT Taman Borobudur, Acarya Shiwa Buddha Yogma (pemuka agama Hindu dari Bali), Jatmoko
(Ketua Paguyuban Notonagoro/ Catur Padmonegoro) dan sejumlah wartawan serta aparat kepolisian. Acara yang dipandu oleh Nurcholish (Pemred Tabloid Sangkakala) tersebut, diawali sambutan oleh Perwakilan Bupati Magelang, dilanjutkan dengan Ceramah dan Diskusi tentang “Borobudur dan Kejayaan Nusantara” oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Acara yang berlangsung khidmat dan dihiasi sinar bulan Purnama Sidhi tersebut, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Maklumat Borobudur Kalpa Sutra Mandala Mattaram oleh Gus Nur, dan diakhiri do’a oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Sementara acara tersebut berlangsung,ditempat yang agak terpisah sekitar sepuluh meter, dapat disaksikan pula acara ritual yang dipimpin oleh seorang pemuka Hindu dari Bali, Acarya Shiwa Buddha Yogma. Romo Yogma (sapaan akrabnya) terlihat duduk bersila memejamkan mata, sementara para pengiringnya mulai menyalakan beberapa obor yang disebutnya sebagai “penyalaan mercusuar Nusantara”.
Semua itu, secara spiritual, dilakukan berdasarkan petunjuk atau wangsit yang turun kepada beberapa yang hadir dalam acara tersebut. Petunjuk tersebut secara umum menggambarkan bentuk dan jiwa Borobudur yang seolah memberi arah perintah untuk melakukan do’a bersama di Borobudur demi menyongsong bangkitnya kembali ruh dan kejayaan Nusantara di masamasa yang akan datang. Semoga.

Membaca Borobudur, Kunci Bangkitnya Kejayaan Nusantara

 Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agamaBuddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsaSyailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Jika Borobudur dikatakan merupakan karya Buddhis sedunia, hal ini tidaklah tepat. Borobudur merupakan sumbangan nyata manusia Jawa untuk menghormati laku spiritual yang dilakukan oleh Siddharta Gautama. Dikatakan demikian karena jika Borobudur merupakan karya Buddhis sedunia maka seharusnya letaknya bukan di Indonesia, melainkan di India, tempat awal mula ajaran Buddha. Adapun manusia Jawa yang dimaksud adalah bukan Jawa yang menunjukan suku Jawa, melainkan Jawa sebagai singkatan dari Jiwa Kang Kajawi. Hal tersebut merupakan berkah yang diungkapkan oleh PB IX Surakarta. Jiwa Kang Kajawi adalah jiwa yang tercerahkan, apapun sukunya, jika jiwanya sudah dapat menangkap cahaya Illahi maka disebut jiwa kang kajawi.  
Drs. RMP. Sosrokartono, kakak kandung RA. Kartini, pernah berkata yang pada intinya mengatakan bahwa Borobudur adalah kunci untuk mewujudkan kejayaan Indonesia. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena dengan membaca reliefnya saja, akan banyak menginspirasi sesuai dengan keilmuwan yang dimiliki oleh pengunjung yang membacanya. Belum lagi tentang struktur bangunannya, sampai pada tahap penghayatan laku spiritual yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Hal ini terbukti dengan sudah banyaknya orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang merasa terpanggil jiwanya pernah beberapa kali mengadakan acara spiritual lintas keyakinan do’a bersama untuk kejayaan Indonesia di Borobudur, seperti peristiwa yang terjadi tanggal 21 Juni 2012 dan 5 Juli 2012 yang menghasilkan Maklumat Borobudur (baca di halaman lain, red).
Pada tahun 1969, Neil Amstrong mengirim berita ke pemerintah Indonesia bahwa dalam perjalanannya ke bulan, Neil Amstrong melihat sinar terang yang memberikan rasa damai dan tenang dari bumi, dan ketika dilihat dengan teleskop sinar itu berasal dari Candi Borobudur.
Neil juga mengirim sampel batu dari bulan sebagai kenang kenangan.
Hal ini telah membantu promosi wisatawan asing datang ke Indonesia dan restorasi Borobudur oleh UNESCO bersama pemerintah Republik Indonesia terlaksana di tahun 1979. (Kompas, 5 Sep 2012, hal.12) Tentu hal ini bukan sebuah kebetulan, semua yang terjadi ada maksud yang perlu dikaji, sehingga pertanyaan apa-mengapa-bagaimana dapat dijawab secara jelas dan tepat.
Candi Borobudur merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk umat Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah. Secara umum Borobudur memperlihatkan laku spiritual seorang Siddharta Gautama sehingga mendapat pencerarahan dan kebijaksanaan. Umat Buddha yang akan melakukan ritual akan masuk melalui sisi timur di dasar candi dengan berjalan melingkarinya searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.

Konsep Rancang Bangun

Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagaimana dengan kondisi dunia atau khususnya kondisi Indonesia saat ini? Jika semua anak bangsa termasuk generasi muda dan para pemegang kekuasaan jiwanya banyak yang dikuasai nafsu rendah, maka permasalahan-permasalahan bangsa ini akan semakin berat untuk dapat diselesaikan. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik. 

Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Bagaimana dengan kondisi dunia atau khususnya kondisi Indonesia saat ini? Jika semua anak bangsa termasuk generasi muda dan para pemegang kekuasaan jiwanya sudah mampu mengendalikan nafsu, maka permasalahan-permasalahan bangsa ini akan semakin mudah untuk dapat diselesaikan. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.

Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Dapat dibayangkan, jika sebagian besar manusia Indonesia sudah bebas dari segala keinginan, maka akan terciptalah kesejahteraan. Orang-orang yang ditaqdirkan kaya akan mudah untuk memberikan sumbangan atau santunan tali kasih, berinfak-sedekah, ataupun berzakat. 
Pada pelataran lingkaran terdapat 72 stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran lingkaran lahir - hidup - mati (samsara)

Struktur bangunan

Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi.[51]Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha. Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian
leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskertadaksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :

Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.

Lalitawistara
Siddhartha Gautama mencukur rambutnya dan menjadi pertapa
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
  
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.