ARSITEKTUR DAN BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT JAWA
Oleh: Dr. Ir. Arya Ronald
Kebudayaan Jawa sebagai sebuah
wawasan menunjukkan bahwa masyarakat Jawa memiliki satu bentuk pandangan hidup
yang cukup matang, hal itu ditandai dengan aneka kepercayaan yang mereka anut,
aneka pengetahuan atau keilmuan yang diserap, kehidupan yang penuh dengan etika
dan nilai estetika yang berpola sangat mendasar. Salah satu bentuk pandangan
hidup yang dapat diterangkan secara panjang lebar adalah faham kejawen, yang hidup di antara
kepercayaan dan agama yang berkembang saat itu. Sebagai sebuah faham, maka
faham inipun mempunyai bentuk ajaran yang cukup mantap, antara lain dalam
filsafat kosmologi Jawa, yang mampu
mengawali perkembangan teologi di kemudian hari. Pada masa kejayaannya, faham
ini berkembang dan telah begitu mengakar dalam sebagian besar hidup berbudaya
mereka, sehingga sampai saat inipun faham itu masih banyak dijumpai berada
dalam kehidupan masyarakat Jawa. Kalau faham ini cenderung muncul dalam
ungkapan yang dipergunakan dalam rangka berkomunikasi dengan pihak lain atau
berbahasa, salah satu bentuk bahasa yang lain yaitu bahasa non-verbal,
terungkap dalam karya mereka yaitu rumah tinggal – sebagai salah satu karya
arsitektur mereka.
Dalem Bupati Juru Kunci Puralaya,
Imogiri
|
Semisal dalam sebuah ungkapan Jawa ‘manunggaling kawula lan gusti’,
memberikan indikasi cukup kuat bahwa existensi seseorang (dalam gambar
ditunjukkan contoh rumah jabatan Juru Kunci makam raja-raja di Imogiri, Bantul,
DIY) berada menyatu dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih besar yaitu
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sehingga terbentuklah suatu keseimbangan
bernilai universal. Ungkapan semacam itu pada awalnya merupakan suatu ajaran
atau nasehat (pitutur), namun
ternyata dapat diterjemahkan atau ditransformasikan ke dalam aneka bentukan –
baik yang tampak (tengible) maupun
tidak tampak (intengible). Salah satu
bentuk yang tampak adalah perujudan arsitektur rumah Jawa, terdiri dari
beberapa bangunan yaitu Topengan,
Pendhapa, Pringgitan, Dalem Ageng, Andong Sekar, Gedhong Abang, Gedhong
Kanthil, Pawetan, Patehan, Paseban, Gedhong Gangsa dan Regol. Kalau ungkapan itu sebuah ajaran, maka demikian pula halnya
dengan arsitektur rumah Jawa – dengan penamaan dan pembedaan fungsi tiap
bangunan, dapat mereflexikan keberadaannya menjadi suatu bentuk ajaran pula.
Ajaran itu khususnya ditujukan kepada penghuninya dan secara umum kepada pihak
lain yang berhubungan sosial dan budaya dengan penghuni rumah ini.
Arsitektur
sebagai sebuah karya budaya dapat menempatkan diri menjadi salah satu bagian
dari unsur kebudayaan Jawa – yang terdiri dari bahasa, sistem kepercayaan,
sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pengetahuan, teknologi dan kesenian.
Bilamana diarahkan kedudukan rumah Jawa dalam kajian kebendaan, maka objek itu
dekat dengan unsur teknologi dan kesenian (seni bangunan), namun seperti telah
disinggung sebelum ini bahwa ternyata unsur kebudayaan Jawa yang lain juga
melekat pada rumah itu, seperti halnya faham kosmologi yang kadang-kala
meningkat menjadi sebuah kepercayaan, bahasa arsitektur, status sosial
penghuni, derajat ekonomi penghuni dan kapasitas seseorang dalam pengembangan
ilmu dan teknologi di kalangan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Dalam hal
demikian ini keberadaan arsitektur rumah Jawa dapat dijadikan acuan yang cukup
berbobot untuk mengenal manusia dan masyarakat Jawa seutuhnya – baik dalam aras
peran, kekuasaan maupun kekuatannya, yang terjadi dalam lingkup kehidupan
budaya Jawa.
Pembangunan
rumah tinggal di mana dan kapanpun merupakan masalah hidup utama, sebab rumah
merupakan salah satu dari tuntutan kebutuhan utama manusia. Masalah kebutuhan
utama hidup manusia yang difahami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan
Jawa khususnya adalah pangan, sandang dan papan; yang terakhir yaitu papan
diterima secara sempit sebagai tempat tinggal atau rumah, meskipun secara lebih
luas lagi dapat berarti bahwa semua tempat yang akan dipergunakan untuk tinggal
manusia - baik dalam waktu singkat maupun lama – adalah papan yang dipungut
dari istilah Jawa papan dan mapan (mantab atau stabil). Dengan
pemahaman ini dapat ditafsirkan sementara bahwa masyarakat ini selalu berusaha
untuk hidup dan menetap lebih matab dalam waktu yang lama, sehingga diungkapkan
kemudian dengan istilah kerasan atau
dapat bertahan lama. Agar supaya kehidupan itu menjadi stabil, maka hubungan
satu dengan lain anggota masyarakat harus sampai ke tingkat akrab, saling
memperhatikan, bahkan juga saling tolong-menolong atau gotong-royong – seperti
terlihat pada upaya mereka membangun rumah, yang pada dasarnya selalu mendapat
bantuan dari tenaga para tetangga di sekitarnya. Kejadian itu terdapat dalam
gambar pembangunan rumah yang ditemukan di sebuah desa Wilangan, Kecamatan
Tamansari, Ponorogo.
Belum lagi,
ternyata bahwa pembangunan rumah tinggal itu sendiri saat ini tidak lagi sama
dengan pada masa yang lalu. Seperti terlihat dalam gambar contoh ini, bahwa
rumah itu dikerjakan oleh para tetangga di sekitarnya – kalau di pedesaan,
sedang kalau di perkotaan kebanyakan sudah diserahkan begitu saja kepada
pemborong bangunan secara profesional. Bagi generasi lampau pembangunan
dipandang sebagai proses mendirikan rumah yang berlangsung dalam jangka waktu
yang cukup panjang, mulai dari perencanaan sampai dengan mewujudkan bangunan
itu, sedangkan sekarang pembangunan dapat dianggap suatu kegiatan yang tidak
perlu dilakukan sendiri oleh calon penghuninya. Dengan demikian, masalah yang
berkaitan dengan pembangunan rumah telah bergeser dari tanggung-jawab keluarga menjadi tanggung-jawab umum atau bahkan pihak pemerintah.
Bagi manusia Jawa rumah adalah
bagian dari kehidupan budaya, yang pada masa yang lalu merupakan bayangan
cermin dari kepribadian manusianya, yang sebagian dapat dilihat dari penampakan
luarnya - namun dengan mempelajari bagian-bagian dari rumah dapatlah segera
diketahui nilai kepribadian manusia yang melatar-belakangi kehadiran rumah
dalam lingkungan permukiman itu. Dari kedua sisi itu yaitu kebudayaan dan
kepribadian, masing-masing dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsurnya, yang
artinya bilamana dicari rumusan yang berkaitan dengan kebutuhan manusia akan
rumah tinggal yang timbul dari persilangan itu, dapatlah segera difahami bahwa
ternyata keberadaan rumah bagi tiap individu yang bergabung dalam sebuah rumah
tangga mengandung banyak sekali pertimbangan. Unsur kebudayaan itu adalah: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi
sosial, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian hidup, religi atau
kehidupan beragama atau berkepercayaan dan kesenian.[1] Unsur kepribadian adalah: pengalaman melakukan hubungan antar manusia,
sistem nilai, pola pikir, sikap hidup, perilaku hidup dan kaidah hidup.
Bilamana kedua unsur itu dipersilangkan, seharusnya akan muncul sebuah karya
dari hasil berbudi daya, sekaligus karya itu akan memancarkan sinar kepribadian
dari pemilik atau penghuninya.
Beberapa aspek yang akan
mempengaruhi proses pembangunan rumah tinggal - baik pada masa yang lalu,
maupun sekarang - perlu difahami perubahan pengaruhnya, mengingat bahwa dengan
aspek yang sama ternyata menghasilkan existensi rumah tinggal yang berbeda.
Dengan memahami proses pembangunan rumah tinggal dan kaitannya dengan kehidupan
budaya dan perkembangan kepribadiannya dapat dibayangkan bahwa pembangunan
rumah seharusnya dari waktu ke waktu akan selalu mengalami perubahan, baik itu
dipengaruhi oleh tuntutan dari dalam maupun tantangan dari luar. Kalau yang
mempengaruhi proses itu masih dalam lingkup kebudayaan dan kepribadian saja,
maka tuntutan dari luar dan dari dalam telah cukup untuk melakukan berbagai
perubahan dalam proses pembangunan rumah. Yang perlu dikhawatirkan adalah
bilamana pembangunan itu tidak lagi memiliki landasan kebudayaan, apalagi kalau
itu semua dilakukan dengan mengabaikan kepribadian yang seharusnya melekat pada
diri orang yang berkepentingan membuat rumahnya sendiri.
Pembangunan rumah secara
gotong-royong
|
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)