Aji Saka membongkar wujud asli Prabu Dewata Cengkar
Dahulu kala, ada sebuah kerajaan
bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu Dewata Cengkar
yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja memakan seorang manusia
yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang resah dan
ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Pa dha ja ya nya : Sama saktinya
Ma ga ba tha nga : Mati bersama
Alkisah, di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang pendekar tampan yang sakti mandraguna bernama Aji Saka. Ia mempunyai sebuah keris pusaka dan udheng Ikat kepala) sakti. Selain sakti, ia juga rajin dan baik hati. Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke mana pun pergi, ia selalu ditemani oleh dua orang abdinya yang bernama Dora dan Sembada.
Pada suatu hari,
Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora.
Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya
ke Pegunungan Kendeng.
“Sembada! Bawa
keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan
jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan
Aji Saka kepada Sembada.
Suatu ketika Aji Saka menolong seorang lelaki paruh baya
yang tengah dirampok. Lelaki itu bercerita bahwa
dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamulan.
Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka
memakan daging manusia. Setiap hari ia memakan daging seorang manusia yang
dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama Jugul Muda. Karena takut menjadi
mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara diam-diam ke daerah lain. Aji
Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja
ditolongnya itu.
Mendengar penjelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk
pergi ke Negeri Medang Kamulan. Ia ingin
menolong rakyat Medang Kamulan dari
kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk
hutan, menyebrangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya mereka
sampai di ibu kota kerajaan tersebut. Suasananya tampak
sepi bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan.
Semua pintu rumah tertutup rapat. Rupanya para penduduk
tidak mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh sang Prabu.
Singkat cerita Aji Saka dapat masuk
ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar
sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa
takut sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri
untuk dimangsa.
“Ampun, Gusti
Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan
Baginda hari ini,” kata Aji Saka.
Betapa senangnya
hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar, ia segera
memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka
untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah,
lalu berkata:
“Ampun, Gusti!
Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang
tanah seluas udheng hamba ini, dan
silakan Paduka sendiri yang mengukurnya,” pinta Aji Saka sambil menunjukkan udheng atau ikat kepala yang dikenakannya.
Prabu Dewata
Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, ia melangkah mundur sambil mengulur udheng itu. Anehnya, setiap diulur, udheng itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi
seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Karena terlampau senangnya
mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur udheng itu hingga
tanpa disadarinya sampai
di pantai Laut Selatan. Ketika ia masuk
ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan udhengnya,
sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu pula berubah menunjukan wujud aslinya, yaitu seekor buaya
putih.
Mengetahui kabar
tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan sangat senang dan merekapun kembali dari tempat pengungsian. Aji
Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata
Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan
dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman,
makmur, dan sentosa.
Pada suatu hari,
Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya, dengan maksud menyuruhnya pergi ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil
keris pusaka yang tengah ditunggui oleh Sembada. Karena sama-sama patuh mendapat perintah tuannya, kedua abdi yang semula
berpelukan tersebut, akhirnya berkelahi hingga keduanya tewas.
Untuk mengenang
kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal
dengan istilah dhentawyanjana, yang
mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktian yang sama
dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.
Adapun susunan hurufnya sebagai berikut:
Pa dha ja ya nya : Sama saktinya
Ma ga ba tha nga : Mati bersama
Setelah hampir 2 millenium (2000 tahun) susunan Huruf
Jawa tersebut direkonstruksi ulang oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar menjadi
Ka ma ba tha ra
Ga da sa nya tha
Na la pa dha nga
Ja wa ha ca ya
(Penjelasan
tentang perubahan susunan Huruf Jawa tersebut ada di halaman lain).
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)