FOKUS KEISTIMEWAAN DIY BUKAN PADA PENETAPAN ATAU PEMILIHANNYA
Gotong Royong
sebagai inti Filsafat Pancasila itu bukan hanya milik kita (Bangsa Indonesia).
Dunia juga mengenalnya dengan baik, sebagaimana dipaparkan oleh Filsafat
Organisme yang juga dikenal sebagai Filsafat Proses. Kesatuan organis yang
terus menerus berproses itu akan mencapai titik akhirnya pada momentum
Apotheosisme yakni rekonsiliasi awal-akhir lahir Batin yang oleh bangsa kita
terungkap dengan jelas pada pernyataan Tuhan seru sekalian Alam atau pada
ekspresi “Tuhan”, seru sekalian Alam.
Filsafat
proses/ Filsafat Organisme itu mengenal Tuhan sebagai “Entitas paling aktual,
namun non-temporal” dengan kedua kutub sifat hakikinya yakni “Pamoring
Kawula-Gusti” serta “Sangkan Paraning Dumadi”, bukannya dalam arti Monisme atau
Pantheisme, melainkan sesuai dengan ajaran Mono-pan-Theisme atau
Pan-en-Theisme.
Negara itu
adalah makhluk jadian; maka terdapatlah istilah “kepala” Negara beserta dengan
perlengkapan “kaki” “tangannya”. Diantara organ tubuh manusia itu terdapat
suatu organ tubuh yang istimewa yakni jantung, hati atau qolbu, sehingga agama
di sisi-Nya mengungkapkan dalil “qolbunya
orang beriman/mukmin itu BAITULLAH”; itulah sebabnya maka manakala disebut nama
Tuhan, bergetarlah hatinya. Itulah momentum DUMELING sekaligus DUMILAH. Itulah
yang terjadi pada Nabi pada peristiwa Nuzulul Qur’an serta Lailatul Qodar.
Mereka yang
belum menyempurnakan rukun Islam lakunya menambah jumlah umurnya; namun setelah
ibadah haji seharusnya menumbuhkan kesadaran perihal berkurangnya jatah umur
berkat laku thawaf yang gerakannya anti jarum jam, artinya jatah usianya
menjadi berkurang dan berkurang. Akhirnya berhentilah momentum IMBAL WACANA,
dari Nyadhong Dhawuh ke Sendika DHAWUH. Maka perlu sekali orang memahami secara
betul hakikat kematian, bukannya fenomena berhentinya degup jantung, hembusan
nafas terakhirnya melainkan pada laku Olah ATI, ng-ATI bahkan M-ATI/ qiyamat
“Jumenengan”.
Suatu fenomena
yang menarik ialah berat ringannya jisim di saat kematian; orang yang jasadnya
terasa berat ketika diangkat dibanding yang terasa ringan, lebih-lebih yang
“berjalan” sendiri karena yang takziah memenuhi jalan dari rumah duka sampai ke
tempat peristirahatan akhir, menghantarkan orang pada laku MOKSA. Subhanal-Lah
bangsa kita dibekali dengan kesatuan informatif “KAMA, HARTA, DHARMA, MOKSA”.
Hal itu juga sejalan dengan personofikasinya “ilmu Mentanegara” berikut liturgi
NA-TA-NA-GA-RA.
Juga tidak
kalah menariknya perihal kesesuaian nama-nama Kepala Negara RI dengan liturgi
tersebut. Sementara itu perlu diingat bahwa kita memiliki 3 unggulan kultural
berkualitas “global cultural heritage”, yakni Candi Borobudur, Keris dan
Wayang Purwa. Kita termasuk bangsa yang suka belajar serta memahami hakikat
keterpelajaran sebagaimana ungkapan “Non scholae sed vitae discimus”,
karenanya mampu membuat garis pemisah antara tontonan dan tuntunan. Pada
pertunjukan wayang purwa misalnya garis pemisah itu ialah momentum GARA-GARA
yakni munculnya wulu-cumbu sebagai lambang kearifan lokal di tengah-tengah
kajian induk Ramayana tentang libido sexualis, serta Maha-Barata tentang libido
mortalis, ditandai dengan tegaknya kayon atau gunungan di tengah perkeliran.
Primadona pada
Ramayana adalah kera putih lambang sperma dengan pertapaannya di daerah
Ungaran, yakni Kendalisada. Dialah yang menjaga sosok Dasamuka yang ditindih
Gunung Sumawana yang berarti “ora wurung” yakni Kama Dadi, bukan Kama Salah
Tetes, yakni Bathara Kala, lambang pemaknaan yang salah terhadap makna waktu.
Pada lakon Ruwatan, ketika Bathara Kala dihantam GADA INTEN atau lebih tepatnya
“Sarung Gada Inten” sebagai lambang TAUHID maka Bathara Kala pun pecah
berkeping-keping berupa Kala-bang, Kala-jeng-king, Kala-sundep, serta KALA
LASO, yang menjerat dunia ke dalam Olah Pasar, gaya konsumptivisme/konsumerisme.
Akhir-akhir ini
muncul fenomena budaya yang mengganggu, yang salah tapi kaprah; misalnya term
“cewek/cawik”, “cowok”, yang menggeser kata yang penuh makna, yakni PEREMPUAN
(yang bertugas menjaga pulau, empu-laut, sementara para pria melaut berguru
pada sosok misterius, yakni Khidir a.s. yang dalam pustaka Jawa identik dengan
sosok Dewa Ruci, jati-diri tokoh BIMA.
Contoh fenomena
lainnya ialah diperebutkannya air kotor, bekas air siraman kereta kencana
kendaraan Ingkang Sinuhun (Surakarta)/Sinuwun (Yogyakarta) padahal yang
diperebutkan itu semestinya justru sisa AIR BERSIH. Air kotor itu uang
pinjaman, sedangkan AIR BERSIH itu infaq, shodaqoh, zakat mal, dan zakat
fitrah.
Mengapa kita
mengabaikan kisah lama padahal kisah tersebut penuh makna ketika Pulau Jawa
diperintah oleh tokoh kanibalis, Dewata Cengkar, kebalikan dari tuntunan
cahaya, yang oleh AJI SAKA berkat kibasan/kebutan udhengnya lalu masuk ke laut
dan kembali ke aslinya sebagai “Buaya Putih?” Bukankah kita itu terpelajar berkat
sekolah-sekolah orang kulit putih, namun kita baru mem-fotocopy permukaannya?
Kereta rel KA
memotong sumbu imaginer A-U-M (Agni-Udaka-Maruta) maka tampillah P.Diponagoro
yang memakai nama resmi Sultan Abdul Hamid HERU CAKRA, yang mengedepankan ketetapan
hati (MANAH/HRU; Cakra=bulat). Suatu ilmu yang sebagai suatu disiplin
memberlakukan rumus yang mendekati taqdir/ketentuan di sisi-Nya namun yang pada
umumnya disalah fahami kebanyakan umat ialah iman kepada “taqdir”; misalnya
seseorang ditaqdirkan kaya, sementara orang lain miskin; yang seperti itu
rahasia ditangan-Nya. Kalau seseorang kaya namun kekayaannya tidak menjeratnya
dari zakat fitrah, zakat mal, infaq, dan shodaqoh, maka orang seperti itulah
yang faham atas laku agung “meninggalkan dunia” sebelum meninggal dunia, malah
menjadi “hantu” kehidupan.
Keistimewaan
Yogyakarta berkenaan dengan analoginya dengan MATI-nya Indonesia, yang oleh
kepekaan ke-latif-annya mampu menyelaraskannya dengan “degup jantung” kehidupan
yang terus-menerus menyeru nama-NYA (“Tuhan” seru sekalian alam; bukankah
menurut tuntunan agama, hati seorang mukmin itu bergetar ketika mendengar
NAMA-NYA diserukan? Bukankah alam ini justru terus-menerus menyeru nama-NYA?
Fokus
keistimewaan DIY terletak pada konsekuensi Olah PANAH/MANAH terhadap ajaran
NING-RAT/sadar kosmis yang tidak feodal, atau kadar ketetapan hati yang bulat
penuh sebagaimana yang tersirat di balik nama HERU CAKRA ataupun HAMENGKU
BUWANA:
“Lakunya,
metodenya, bukannya penjumlahan,
perkalian atau
pemangkatan, melainkan
PEMBAGIAN
0/nol:
Bilangan berapapun kapan
serta dimanapun kalau dibagi nol
hasilnya
justru infinitum/
tak terhingga."
Maka P.
Senapati menitipkan nDHOG JAGAD pada Kyahi SAPU-JAGAD
“Sesungguhnya
tidak ada apa-apa, kecuali
yang BERKATA;
Selanjutnya tidak punya
apa-apa, termasuk
tidak punya RASA PUNYA
(Mulih Pulih
Sangkan Paraning Dumadi/Pamoring Kawulo-Gusti)
(Almarhum.)Prof. Dr. Damardjati Supadjar
Guru Besar Fakultas Filsafat UGM
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)