Prabu Dharmakusuma Raja Tanpa Mahkota
Dalam dunia pewayangan, menurut pakar
seni pedalangan yang juga seorang dalang, Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M.
Hum, Prabu Dharmakusuma mempunyai banyak nama, antara lain Ajotosatru, Guno
Talikrama, Samiaji, Yudhistira dan
Puntadewa. Ajotosatru bermakna tidak mempunyai musuh, Guno Talikrama bermakna
tidak berguru pada siapapun, Puntadewa berarti anak Pandu, sementara itu
Dharmakusuma bermakna raja yang mengedepankan kebajikan. Prinsip hidupnya, lega dunya lilo ing sirna. Seseorang
yang memiliki prinsip seperti ini, akan memberikan semua yang dimilikinya jika
diminta orang lain.
Masih menurut ahli pedalangan yang
juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut, cerita tentang
penderitaan dan karakter yang dimiliki
oleh Prabu Dharmakusuma mengandung beberapa ajaran yang patut dicermati dan
direnungkan sebagai bahan instrospeksi
diri. Memang Dharmakusuma itu raja tanpa mahkota, darahnya putih dan sudah
terbebas dari urusan kepemilikan duniawi, tetapi rupanya kebaikan model seperti
ini tetap saja mengandung kelemahan. Begitulah kodrat alam, kodrat manusia tidak ada yang sempurna. Lalu, apakah
kelemahannya? Dalam hal ini terdapat unsur paradoks, bahwa kelemahan
Dharmakusuma justru disebabkan oleh kebaikannya. Ketika diajak bermain dadu
dengan mempertaruhkan negara, Dharma kusuma tidak dapat menolak dan tanpa
memikirkan akibatnya terhadap orang-orang yang selalu setia disampingnya,
termasuk saudara-saudaranya (Pandawa) dan istrinya sendiri. Begitu juga ketika Dewi Drupadi, istrinya, diminta,
Dharmakusuma menyerahkannya. Sesungguhnya, semua itu adalah simbol, bahwa di
dunia ini sudah tidak ada lagi yang memberatkannya termasuk harta, tahta,
ataupun wanita.
Manusia memang selalu dilengkapi
dengan sisi baik dan sisi buruk, tinggal yang mana yang lebih mendominasi.
Walaupun Prabu Dharmakusuma bisa dikatakan mencelakakan saudara-saudaranya
karena tidak kuasa menolak permintaan bala Kurawa, tetapi tetap ada hikmah yang dapat dipetik. Hikmah yang
pertama, karakter Dharmakusuma adalah
cerminan seorang pelaku spiritual
tinggi, yang sudah mengikhlaskan apa yang dimilikinya.
Prof. Dr. Kasidi Hadi Prayitno M.Hum |
Semuanya ringan jika yang dituju
hanyalah Tuhan saja. Cinta terhadap dunia
akan “nyandung-nyerimpeti”
atau menjadi batu sandungan untuk seseorang yang akan meninggalkan dunia
sebelum meninggal dunia. Maka, ada baiknya jika dalam hal kebaikannya, manusia
termasuk kita semua mampu untuk mengambil atau mempraktekkan apa yang menjadi
prinsip Prabu Dharmakusuma. Itulah yang dalam prinsip ajaran Islam disebut Inna Lillahi Wainna Ilaihi Roji’uuun,
kita semua adalah milik Allah, dan kepadanya juga kita akan kembali.
Puntadewa itu berdarah putih atau ludira
seta. Darah putih melambangkan keikhlasan
dan kesabaran tanpa batas, kalau dalam sejarah Islam serupa dengan
Abu Bakar Ash-shidiq.
Puntadewa itu juga tidak pernah marah karena sangat sabar, tapi apabila
kesabarannya sudah habis dan marah maka akan bertiwikrama menjadi raksasa putih
yg sangat besar bernama Dewa
Amral yg membuat seisi kahyangan menjadi ketakutan, bahkan kebesaran wayang Dewa
Amral itu lebih besar dari tiwikramanya Dewa Wisnu.
Dharmakusuma
memakai udheng yang melambangkan
sudah mudheng (memahami) akan arti
kehidupan. Di dalam udheng
tersebut terdapat layang atau jimat Kalimasada, yaitu kalimah husada atau
kalimat penyembuh yang menyimbolkan wejangan-wejangan tentang kehidupan yang
dapat menyembuhkan segala penyakit hati. Kalimasada
juga berarti kalimat syahadat, atau kalimat penyaksian. Syahadat disini bukan syahadat ikut-ikutan
supaya dikira sudah masuk Islam tapi merupakan syahadat total yaitu sudah
menjadi saksi sepenuhnya atas keesaan Allah.
Dari sifat
atau karakter Prabu Dharmakusuma dapat diambil beberapa ajaran penting untuk
para pemimpin, antara lain:
- Pemimpin harus mempunyai watak ikhlas dan sabar tanpa batas,
- Pemimpin harus menjadi tauladan bagi bawahan dan rakyatnya, dan ketika melihat bawahan atau rakyatnya salah jalan dapat menyadarkan mereka dengan memakai kalimat-kalimat penyembuh,
- Pemimpin harus mengetahui dan menghayati apa tujuannya dia memimpin dan apa tujuannya hidupnya yaitu semata-mata sebagai jalan menuju Allah.
- Syahadat pemimpin itu harus total bukan ikut-ikutan, jadi pemimpin itu sudah menjadi saksi atas keesaan Tuhan sehingga keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu benar-benar yakin, bukan keyakinan yg diyakin-yakinkan.***NCH-Sangkakala
0 komentar:
Posting Komentar
berilah komentar yang cerdas, jangan mencantumkan link hidup (bikin berat brooo,....)