Pagelaran
Dalam dunia pewayangan, menurut pakar seni pedalangan yang juga seorang dalang, Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M. Hum, Prabu Dharmakusuma mempunyai banyak nama, antara lain Ajotosatru, Guno Talikrama, Samiaji, Yudhistira dan Puntadewa.
SINGA BARONG KERIS PETINGGI KARATON
Dapur Singa Barong lambang kekuasaan dan ketegasan bagi raja, patih d a n senapati. Bagian gandik diukir dengan bentuk miniatur singa sedang berjongkok dengan mulut menganga. Bentuk singa ini menyerupai kilin,
HUBUNGAN AKRAB BUNG KARNO DENGAN SOSROKARTONO
Siapakah Raden Sosrokartono? Tidak banyak yang ingat, apalagi mengetahui secara personal tokoh kita yang satu ini
Selasa, 26 Januari 2016
16.05
Unknown
JAMAN MOSPRO
merapikan yang
sudah rapi
menyembuhkan yang
sehat
menanti yang sudah
mendahului
meninggalkan yang
menanti
menyalahkan yang
benar
membenarkan yang
salah
JAMAN EMBUH
berkaca di air
keruh dan bergelombang
rasah dipikir,
dilakoni wae
rasah kakean wuwus,
digegeyu wae
gramane mobat-mabit
nyamber kono kene
kurang bejane dadi
karang abang
gunung podo
gumregah
bumi miring segoro
kocak
JOKO BADEG
Jumat, 02 Mei 2014
10.29
Unknown
Geliat Seni Reog Ponorogo
Di bawah matahari yang terik pada Jumat siang tanggal 12 Oktober 2012,
ada sebuah keramaian yang tak biasa di lapangan Desa Minomartani, Kecamatan
Ngaglik, Sleman. Ternyata sebuah pertunjukan seni reog yang cukup menarik.
Dikatakan demikian karena pertunjukan reog siang itu melibatkan 20-an paguyuban
seni reog dari Ponorogo dan Madiun. Seolah menjawab tantangan zaman mereka
dengan penuh semangat memainkan peranan-peranan dalam kesenian khas Ponorogo
tersebut dengan sepenuh hati.
Ada sejumlah nama paguyuban seni reog yang ikut serta dalam acara yang dikemas seperti festival ersebut, antara
lain; Paguyuban Seni Reog Singo Budoyo, Singo Yehuda, Singo Ludro, dan Singo
Yudho Mulyo. Atraksi yang ditampilkan selain gebyar reog bersama, jathilan,
atraksi barong, atraksi kucingan, warok Ponorogo, dan atraksi panjat bambu.
Menurut Sugiono, pimpinan Seni Reog Joyo Manunggal dari Madiun, yang juga ikut
serta dalam acara tersebut, pertunjukan reog gabungan tersebut akan berlangsung
11 hari di 11 tempat yang berbeda. "Saya bersyukur para pemuda di Madiun
semakin menunjukan ketertarikannya pada seni reog, ini bagus untuk upaya
pelestarian seni reog ." katanya mantap.
Seni reog Ponorogo merupakan kesenian budaya khas Ponorogo yang
biasanya di awal pertunjukan tak lepas dari pertunjukan jathilan, yang
dimainkan oleh seorang perempuan dengan menungangi kuda yang terbuat dari bambu
yang dianyam. Seni reog biasa menampilkan kepala singa yang dipadu dengan bulu
merak yang dirangkai tegak berdiri di atasnya. Menurut Glondor, seorang
pebarong (sebutan untuk pemain barong) dari Madiun, harga satu Dadak Merak
(sebentuk kepala harimau yang dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak
setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram, red) saat
sekarang mencapai 15 juta rupiah. Hal ini dikarenakan di pasaran harga bulu
merak relatif mahal, sehingga saat ini pembuatannya sampai banyak yang harus
mengimpor dari luar negeri.
Di sebelah barat alun-alun Ponorogo, banyak dijumpai pernak –
pernik reog mini yang dijual dengan kisaran harga minimal 1 jutaan. Di setiap
bulan Muharam atau Suro, di tempat tersebut biasa diadakan festival reog yang
di ikuti oleh seluruh paguyuban seni reog yang berasal dari berbagai daerah
lain, tidak hanya dari Ponorogo, tetapi juga dari kota-kota lain di Pulau Jawa,
bahkan dari luar Jawa.
Reog identik dengan para warok, yang mana kata warok menurut
sesupuh Ponorogo yang tak mau disebutkan namanya berasal dari kata wiro’i yang
dalam Bahasa Arab bermakna orang yang menjauhi barang-barang samar atau yang
belum tentu jelas kebenaran halal-haramnya. Sedangkan nama Ponorogo berasal dari
kata fana raga yang artinya ketiadaan jasad.
Kisah asal mula seni reog berasal dari kerajaan Kediri. Pada saat
itu sang raja mempunyai putri cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit, yang
masih belum mempunyai pasangan. Belum menikahnya sang putri membuat gundah
raja, sehingga rajapun memanggil Dewi Sanggalangit agar mau untuk menikah. Dewi
Sanggalangit bersemadi untuk mencari petunjuk dari yng Maha Kuasa, dan dalam
semedinya putri cantik tersebut menerima wangsit bahwa calon suaminya harus
mempersembahkan sebuah tontonan yang menarik, semacam tarian yang diiringi
tabuhan dan gamelan, dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus
empat puluh ekor, dan harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua. Semuanya
itu nantinya akan dijadikan iringan pengantin.
Dalam versi lain dikisahkan legenda Reog atau Barongan bermula
dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja
Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi
kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri.
Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong
(harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai
harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri.
Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan
pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna.
***NCH/Sangkakala
08.52
Unknown
Meneladani Sunan Geseng dalam Mematuhi PerintahGuru
Sunan Kalijaga |
Sunan Geseng, atau sering pula disebut Eyang Cakrajaya,
adalah murid Sunan Kalijaga. Selain mempunyai garis keturunan
dari Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya,ia adalah keturunan Imam Jafar ash-Shadiq, dengan
nasab: Sunan Geseng bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin
Muhammad bin Husein bin Askib bin Mohammad Wahid bin Hasan bin Asir bin 'Al bin
Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin al-Madani
bin al-Husain bin al-Imam
Ali.
Kisah tentang Sunan Geseng adalah kisah tentang
kepatuhan seorang murid terhadap guru spiritualnya, Sunan Kalijaga. Apapun yang
sudah ditugaskan oleh guru, sang murid siap menjalaninya walaupun resikonya
sangat besar. Akan tetapi, dibalik resiko besar itu terkandung hikmah untuk
dijadikan teladan oleh generasi-generasi sesudahnya, dan resiko itupun sudah
terukur sesuai dengan kemampuan, kapasitas, serta maqomsi murid.
Menurut hikayat, pada suatu saat Raden Cakrajaya
mengikuti anjuran Sunan Kalijaga untuk mengasingkan diri di suatu hutan untuk konsentrasi beribadah kepada Allah. Di tengah lelakunya itu, hutan
tersebut terbakar, tapi beliau tidak mau menghentikan tapanya, sesuai pesan
sang guru untuk jangan memutus ibadah, apapun yang terjadi, sampai sang guru datang menjenguknya. Demikianlah, ketika kebakaran
berhenti dan Sunan Kalijaga datang menjenguknya, dia dapati Cakrajaya telah
menghitam hangus, meskipun tetap sehat wal afiat. Maka digelarilah beliau
dengan Sunan Geseng.
Pintu Makam Sunan Geseng |
Menurut Juru Kunci Makam Sunan Geseng, Supadiono, makam Sunan Geseng yang ada
di Jolosutro Piyungan tidak terlalu ramai diziarahi, mungkin karena letaknya
yang agak susah dijangkau karena untuk sampai ke sana harus ditempuh dengan
berjalan kaki melewati jalan menanjak kira-kira dua kilometer, atau bisa saja
karena kurangnya informasi bahwa di tempat tersebut terdapat makam seorang
waliyullah yang merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga. Sementara juru kunci
lainnya, Wanto, menjelaskan mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
semasa hidupnya juga pernah berziarah ke makam Sunan Geseng dengan cara ditandu
oleh empat orang warga setempat secara bergantian. “Waktu itu Gus Dur beserta
rombongan pengiringnya berjalan menuju makam Sunan Geseng dari arah atas, bukan
dari Jolosutro. Warga yang bergantian menandunya dikasih uang masing-masing 50
ribu rupiah, merekapun tentunya sangat senang melakukannya. Selain dapat dekat
tokoh nasional seperti Gus Dur, juga dikasih imbalan.”
Dalam kisah
versi lain, diceritakan, saat ditemukan Cakrajaya masih dalam keadaan bertapa
menunggu tongkat Sunan Kalijaga. Untuk mengembalikan kesadaranya,Sunan Kalijogo
memandikan Cakrajaya dipinggir Sungai Oya tepatnya di batu yang telah keluar
mata airnya bekas ditancapkanya tongkat Sunan Kalijogo. Upaya tersebut ternyata belum bisa membuat pulih total
kesadaranya, maka di Sendang Banyu Urip dimandikanlah lagi Cakrajaya.Untuk
mengetahui seberapa jauh tingkat kesadaran dan keilmuannya, Sunan Kalijaga
bertanya dengan apakah untuk mencapai kesempurnaan hidup, apakah dengan
mengetahui jati diri atau kelinuwihan (kelebihan). Cakrajaya memilih
kelinuwihan, sedangkan Kanjeng Sunan sendiri lebih cenderung pada jati diri. Maka
timbulah perdebatan ‘’jati, luwih, jati, luwih”. Karena keduanya memang
mempunyai keilmuan yang linuwih apa yang di ucap jadilah maka terjadilah.
Dengan irodah Illahi, jadilah sebuah pohon jati yang memiliki daun seperti
kluwih,hingga sekarang yang dapat kita lihat di Desa Jatiluwih, Kecamatan
Dlingo, Kabupaten Bantul.
Makam Sunan Geseng, Jolosutro, Piyungan, Bantul |
Makam Sunan Geseng (Ki Jolosutro) terletak di Dusun
Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 km di sebelah
kanan Jalan Yogyakarta-Wonosari Km. 14 (kalau datang dari Yogyakarta). Setiap
tahun ada perayaan dari warga setempat untuk menghormati Sunan Geseng. Masyarakat
setempat menyebutnya tradisi Rasulan.
Selain di dekat Pantai Parangtritis Yogyakarta, makam
Sunan Geseng juga dipercaya terdapat di sebuah desa yang bernama Desa Tirto, di
kaki Gunung Andong, dekat Gunung Telomoyo. Secara administratif daerah tersebut
di bawah Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Masyarakat sekitar makam khususnya, dan Grabag pada
umumnya, sangat mempercayai bahwa makam yang ada di puncak bukit dengan
bangunan cungkup dan makam di dalamnya adalah sarean (makam) Sunan Geseng.Pada
Bulan Ramadhan, pada hari ke-20 malam masyarakat banyak yang berkumpul di sekitar
makam untuk bermunajat. Selain itu, di Desa Kleteran (terletak di bawah Desa
Tirto) juga terdapat sebuah Pondok Pesantren yang dinamai Ponpes Sunan Geseng.
(NCH/Sangkakala)
(diolah dari
berbagai sumber)
08.50
Unknown
Mahkota Dewa Untuk Berbagai Macam Penyakit
Mahkota Dewa (Phaleriamacrocarpa/Phaleria papuana) merupakan
tanaman yang habitat alamnya berasal dari Papua (Irian Jaya). Sebutan atau nama lain untuk Mahkota dewa cukup banyak. Ada yang
menyebutnya Pusaka dewa, Derajat, Mahkota Ratu, Mahkota Raja, Trimahkota. Di
Jawa Tengah, orang menyebutnya dengan nama makuto dewo, makuto rojo,
atau makuto ratu. Orang Banten menyebutnya raja obat. Nama ini diberikan
karena pohon ini mampu mengobati aneka penyakit. Sementara itu, orang Cina
lebih suka menyebutnya pau atau“ShianThno”yang berarti obat pusaka. Tidaklah mengejutkan jika beberapa orang pun
meng-Inggris-kan namanya menjadi The Crown of GOD.
Mahkota Dewa
adalah tanaman aperduk yang bisa mencapai ketinggian lima meter. Ia dapat
tumbuh dari ketinggian 10 m dpl (diatas permukaan laut) hingga 1.200 m dpl.Bahan
yang dapat dimanfaatkan untuk obat dari tanaman mahkota dewa adalah daging buahnya.
Buahnya berwarna merah bila sudah matang. Ukurannya bervariasi mulai dari
sebesar bola ping-pong sampai buah apel. Semakin tua warna buah semakin gelap,
daging buahnya berwarna putih rasanya sepet.
Padahal buah mahkota dewa itu sangatlah beracun apabila tidak diolah
terlebih dahulu. Buah yang dipanen adalah yang sudah benar-benar matang, sehat
dan tidak terkena penyakit. Cirinya tampak segar, tidak ada cacat sedikitpun
dan warnanya merah marun.
Buah yang baik dibersihkan dengan air lalu jemur. Untuk mempercepat
pengeringan, buah diiris tipis-tipis terlebih dahulu. Sebaiknya dengan pisau
anti karat. Pengeringan dilakukan selama 3-4 hari. Setelah kering, disangrai
selama 5 menit diatas api kecil untuk menghilangkan bakteri, sehingga aman
untuk digunakan.
Kandungan senyawa
kimia yang terdapat pada buah mahkota dewa terdiri dari golongan alkanoid,
tanin, flavonoid, fenol, saponin, lignan. minyak aisri dan sterol. Senyawa
lignan baru yang terdapat dalam daging buah mahkota dewa berfungsi sebagai anti
kanker dan antioksidan. Buah mahkota dewa ini memiliki Efekfarmakologi: anti
tumor, anti disentri, anti insekta, mengobati eksim, hepatotoksik dan anti bodi.
Seorang ahli
farmakologi dari Fakultas Kedokteran UGM, dr. Regina Sumastuti, berhasil
membuktikan bahwa mahkota dewa mengandung zat antihistamin. Zat ini merupakan
penangkal alergi. Dengan begitu, dari sudut pandang ilmiah, mahkota dewa bisa
menyembuhkan aneka penyakit alergi yang disebabkan histamin, seperti biduren,
gatal-gatal, selesma, dan sesak napas. Penelitian dr. Regina juga membuktikan
bahwa mahkota dewa mampu berperan seperti oxytosin atau sintosinon yang dapat
memacu kerja otot rahim sehingga persalinan berlangsung lebih lancar.
Dra. Lucie Widowati dari Puslitbang Farmasi dan Obat
Tradisional Depertemen Kesehatan.“Saya meneliti Mahkota Dewa dari tahun
2003,”ujar Lucie. Hasilnya menunjukkan, biji mahkota dewa sangat toksik.
Sementara buahnya tidak. Lucie juga menyimpulkan zat dalam buah mahkota dewa
meliputi alkaloid, tanin, saponin, flavonoid, polifenol.
Dalam abstraksi laporannya, Lucie menyebutkan buah
Mahkota Dewa bersifat sitotoksik terhadap sel kanker rahim (sel HeLa) dan sel
leukemia. Menurunkan kadar gula darah, menurunkan asam urat. Bersifat
antioksidan sebagai scavenger radikal bebas. Juga menurunkan kadar asam urat.
Sementara itu
menururt hasil penelitian Dra. Vivi
Lisdawati Msi,Apt dari FMIPA
Universitas Indonesia, membuktikan bahwa kandungan senyawa
kimia golongan alkaloid, terpenoid, lignin (polifenol), flavanoid dan
juga senyawa resin dalam mahkota dewa adalah golongan senyawa kimia yang
berkaitan dengan aktivitas anti kanker dan antioksidan. Namun demikian, menurut
Dra. Vivi Lisdawati Msi,Apt, berdasarkan hasil pengujian ekstrak mahkota dewa
memiliki toksisitas yang sangat tinggi sehingga pemanfaatannya sebagai obat
tradisional harus dengan takaran yang sangat berhati-hati.
02.57
Unknown
ARSITEKTUR DAN BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT JAWA
Oleh: Dr. Ir. Arya Ronald
Kebudayaan Jawa sebagai sebuah
wawasan menunjukkan bahwa masyarakat Jawa memiliki satu bentuk pandangan hidup
yang cukup matang, hal itu ditandai dengan aneka kepercayaan yang mereka anut,
aneka pengetahuan atau keilmuan yang diserap, kehidupan yang penuh dengan etika
dan nilai estetika yang berpola sangat mendasar. Salah satu bentuk pandangan
hidup yang dapat diterangkan secara panjang lebar adalah faham kejawen, yang hidup di antara
kepercayaan dan agama yang berkembang saat itu. Sebagai sebuah faham, maka
faham inipun mempunyai bentuk ajaran yang cukup mantap, antara lain dalam
filsafat kosmologi Jawa, yang mampu
mengawali perkembangan teologi di kemudian hari. Pada masa kejayaannya, faham
ini berkembang dan telah begitu mengakar dalam sebagian besar hidup berbudaya
mereka, sehingga sampai saat inipun faham itu masih banyak dijumpai berada
dalam kehidupan masyarakat Jawa. Kalau faham ini cenderung muncul dalam
ungkapan yang dipergunakan dalam rangka berkomunikasi dengan pihak lain atau
berbahasa, salah satu bentuk bahasa yang lain yaitu bahasa non-verbal,
terungkap dalam karya mereka yaitu rumah tinggal – sebagai salah satu karya
arsitektur mereka.
Dalem Bupati Juru Kunci Puralaya,
Imogiri
|
Semisal dalam sebuah ungkapan Jawa ‘manunggaling kawula lan gusti’,
memberikan indikasi cukup kuat bahwa existensi seseorang (dalam gambar
ditunjukkan contoh rumah jabatan Juru Kunci makam raja-raja di Imogiri, Bantul,
DIY) berada menyatu dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih besar yaitu
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sehingga terbentuklah suatu keseimbangan
bernilai universal. Ungkapan semacam itu pada awalnya merupakan suatu ajaran
atau nasehat (pitutur), namun
ternyata dapat diterjemahkan atau ditransformasikan ke dalam aneka bentukan –
baik yang tampak (tengible) maupun
tidak tampak (intengible). Salah satu
bentuk yang tampak adalah perujudan arsitektur rumah Jawa, terdiri dari
beberapa bangunan yaitu Topengan,
Pendhapa, Pringgitan, Dalem Ageng, Andong Sekar, Gedhong Abang, Gedhong
Kanthil, Pawetan, Patehan, Paseban, Gedhong Gangsa dan Regol. Kalau ungkapan itu sebuah ajaran, maka demikian pula halnya
dengan arsitektur rumah Jawa – dengan penamaan dan pembedaan fungsi tiap
bangunan, dapat mereflexikan keberadaannya menjadi suatu bentuk ajaran pula.
Ajaran itu khususnya ditujukan kepada penghuninya dan secara umum kepada pihak
lain yang berhubungan sosial dan budaya dengan penghuni rumah ini.
Arsitektur
sebagai sebuah karya budaya dapat menempatkan diri menjadi salah satu bagian
dari unsur kebudayaan Jawa – yang terdiri dari bahasa, sistem kepercayaan,
sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pengetahuan, teknologi dan kesenian.
Bilamana diarahkan kedudukan rumah Jawa dalam kajian kebendaan, maka objek itu
dekat dengan unsur teknologi dan kesenian (seni bangunan), namun seperti telah
disinggung sebelum ini bahwa ternyata unsur kebudayaan Jawa yang lain juga
melekat pada rumah itu, seperti halnya faham kosmologi yang kadang-kala
meningkat menjadi sebuah kepercayaan, bahasa arsitektur, status sosial
penghuni, derajat ekonomi penghuni dan kapasitas seseorang dalam pengembangan
ilmu dan teknologi di kalangan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Dalam hal
demikian ini keberadaan arsitektur rumah Jawa dapat dijadikan acuan yang cukup
berbobot untuk mengenal manusia dan masyarakat Jawa seutuhnya – baik dalam aras
peran, kekuasaan maupun kekuatannya, yang terjadi dalam lingkup kehidupan
budaya Jawa.
Pembangunan
rumah tinggal di mana dan kapanpun merupakan masalah hidup utama, sebab rumah
merupakan salah satu dari tuntutan kebutuhan utama manusia. Masalah kebutuhan
utama hidup manusia yang difahami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan
Jawa khususnya adalah pangan, sandang dan papan; yang terakhir yaitu papan
diterima secara sempit sebagai tempat tinggal atau rumah, meskipun secara lebih
luas lagi dapat berarti bahwa semua tempat yang akan dipergunakan untuk tinggal
manusia - baik dalam waktu singkat maupun lama – adalah papan yang dipungut
dari istilah Jawa papan dan mapan (mantab atau stabil). Dengan
pemahaman ini dapat ditafsirkan sementara bahwa masyarakat ini selalu berusaha
untuk hidup dan menetap lebih matab dalam waktu yang lama, sehingga diungkapkan
kemudian dengan istilah kerasan atau
dapat bertahan lama. Agar supaya kehidupan itu menjadi stabil, maka hubungan
satu dengan lain anggota masyarakat harus sampai ke tingkat akrab, saling
memperhatikan, bahkan juga saling tolong-menolong atau gotong-royong – seperti
terlihat pada upaya mereka membangun rumah, yang pada dasarnya selalu mendapat
bantuan dari tenaga para tetangga di sekitarnya. Kejadian itu terdapat dalam
gambar pembangunan rumah yang ditemukan di sebuah desa Wilangan, Kecamatan
Tamansari, Ponorogo.
Belum lagi,
ternyata bahwa pembangunan rumah tinggal itu sendiri saat ini tidak lagi sama
dengan pada masa yang lalu. Seperti terlihat dalam gambar contoh ini, bahwa
rumah itu dikerjakan oleh para tetangga di sekitarnya – kalau di pedesaan,
sedang kalau di perkotaan kebanyakan sudah diserahkan begitu saja kepada
pemborong bangunan secara profesional. Bagi generasi lampau pembangunan
dipandang sebagai proses mendirikan rumah yang berlangsung dalam jangka waktu
yang cukup panjang, mulai dari perencanaan sampai dengan mewujudkan bangunan
itu, sedangkan sekarang pembangunan dapat dianggap suatu kegiatan yang tidak
perlu dilakukan sendiri oleh calon penghuninya. Dengan demikian, masalah yang
berkaitan dengan pembangunan rumah telah bergeser dari tanggung-jawab keluarga menjadi tanggung-jawab umum atau bahkan pihak pemerintah.
Bagi manusia Jawa rumah adalah
bagian dari kehidupan budaya, yang pada masa yang lalu merupakan bayangan
cermin dari kepribadian manusianya, yang sebagian dapat dilihat dari penampakan
luarnya - namun dengan mempelajari bagian-bagian dari rumah dapatlah segera
diketahui nilai kepribadian manusia yang melatar-belakangi kehadiran rumah
dalam lingkungan permukiman itu. Dari kedua sisi itu yaitu kebudayaan dan
kepribadian, masing-masing dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsurnya, yang
artinya bilamana dicari rumusan yang berkaitan dengan kebutuhan manusia akan
rumah tinggal yang timbul dari persilangan itu, dapatlah segera difahami bahwa
ternyata keberadaan rumah bagi tiap individu yang bergabung dalam sebuah rumah
tangga mengandung banyak sekali pertimbangan. Unsur kebudayaan itu adalah: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi
sosial, peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian hidup, religi atau
kehidupan beragama atau berkepercayaan dan kesenian.[1] Unsur kepribadian adalah: pengalaman melakukan hubungan antar manusia,
sistem nilai, pola pikir, sikap hidup, perilaku hidup dan kaidah hidup.
Bilamana kedua unsur itu dipersilangkan, seharusnya akan muncul sebuah karya
dari hasil berbudi daya, sekaligus karya itu akan memancarkan sinar kepribadian
dari pemilik atau penghuninya.
Beberapa aspek yang akan
mempengaruhi proses pembangunan rumah tinggal - baik pada masa yang lalu,
maupun sekarang - perlu difahami perubahan pengaruhnya, mengingat bahwa dengan
aspek yang sama ternyata menghasilkan existensi rumah tinggal yang berbeda.
Dengan memahami proses pembangunan rumah tinggal dan kaitannya dengan kehidupan
budaya dan perkembangan kepribadiannya dapat dibayangkan bahwa pembangunan
rumah seharusnya dari waktu ke waktu akan selalu mengalami perubahan, baik itu
dipengaruhi oleh tuntutan dari dalam maupun tantangan dari luar. Kalau yang
mempengaruhi proses itu masih dalam lingkup kebudayaan dan kepribadian saja,
maka tuntutan dari luar dan dari dalam telah cukup untuk melakukan berbagai
perubahan dalam proses pembangunan rumah. Yang perlu dikhawatirkan adalah
bilamana pembangunan itu tidak lagi memiliki landasan kebudayaan, apalagi kalau
itu semua dilakukan dengan mengabaikan kepribadian yang seharusnya melekat pada
diri orang yang berkepentingan membuat rumahnya sendiri.
Pembangunan rumah secara
gotong-royong
|
02.49
Unknown
Doa Bersama Lintas Keyakinan di Borobudur dan Bangkitnya Ruh Nusantara
Prof. Dr. Damardjati Supadjar didanpingi pejabat yang mewakili Bupati Magelang |
Acara Spiritual Lintas Keyakinan
telah sukses digelar di Borobudur pada tanggal 21 Juni 2012. Acara yang
diprakarsai oleh Pemilik Rumah Herbal di sekitar kaki Gunung Arjuno,
Guntur Bisowarno, dan diketuai oleh Jack Priyana yang kemudian membentuk
Komite Penggerak Budaya Borobudur tersebut, berjalan lancar diikuti
oleh 21 peserta termasuk peserta dari DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Sumatra Utara (Medan). Komite tersebut dibentuk atas ide Gus Nur
(Pimpinan Ponpes Gapuro), dengan tim pengonsep Sulkhan, Jack Priyana,
dan Nurcholish. Dalam rangkaian acara yang berlangsung khidmat tersebut
diikuti pula oleh Prabowo Respatyo Caturroso, MM, Phd (Dirjen Peternakan
Kementrian Pertanian RI), Pimpinan Pondok Pesantren, Perwakilan
Pengelola Taman Borobudur, warga Borobudur, seniman, serta para pemimpin
Paguyuban Seni dan Spiritual yang ada di wilayah Magelang dan
sekitarnya, termasuk dari Jogja dan Solo.
Do’a bersama juga dilakukan serentak di wilayah Wonosobo, Parakan, Temanggung, dan Ngadirejo yang melibatkan 15 Pondok Pesantren di tempat masing-masing dipimpin oleh 71 para sesepuh termasuk Pimpinan atau kyai Ponpes. Daerah Salatiga, Grabag Magelang dan sekitarnya melibatkan 17 Pondok pesantren dipimpin oleh 35 sesepuh termasuk Pimpinan atau Kyai Ponpes. Kira-kira pukul 21.20 dimulailah acara do’a bersama lintas keyakinan, semua peserta berpencar di sekitar Museum Borobudur,
Do’a bersama juga dilakukan serentak di wilayah Wonosobo, Parakan, Temanggung, dan Ngadirejo yang melibatkan 15 Pondok Pesantren di tempat masing-masing dipimpin oleh 71 para sesepuh termasuk Pimpinan atau kyai Ponpes. Daerah Salatiga, Grabag Magelang dan sekitarnya melibatkan 17 Pondok pesantren dipimpin oleh 35 sesepuh termasuk Pimpinan atau Kyai Ponpes. Kira-kira pukul 21.20 dimulailah acara do’a bersama lintas keyakinan, semua peserta berpencar di sekitar Museum Borobudur,
menempatkan
diri di area yang menurut mereka pas untuk berdo’a memohon kepada Tuhan
Yang Maha Agung agar Negara Indonesia diberikan jalan keluar dari
segala permasalahan, sehingga tercapailah Negara yang adil, makmur,
sentosa dan sejahtera. Dalam waktu yang bersamaan dimulailah do’a
bersama di tempat
yang berbeda, yang sebagian besar
dilakukan oleh para kyai dan santri dari berbagai pondok pesantren serta
beberapa kelompok atau paguyuban
seni dan budaya spiritual yang ada di lingkup DIY-Jateng seperti Salatiga, Temanggung, Magelang, dan Penduduk Lereng Merapi.Mereka berdo’a di tempat masingmasing
seni dan budaya spiritual yang ada di lingkup DIY-Jateng seperti Salatiga, Temanggung, Magelang, dan Penduduk Lereng Merapi.Mereka berdo’a di tempat masingmasing
sesuai dengan keyakinan
masing-masing. Acara yang bertemakan “menetralisir unsur-unsur negatif
yang tidak sesuai dengan tuntunan agama apapun” tersebut, seiring
perjalanan waktu kemudian disusul dengan acara
Sarasehan
dan do’a bersama pada tanggal 5 Juli 2012 di Pelataran Candi Borobudur
yang diikuti oleh beberapa element penting lintas keyakinan termasuk
dihadiri pula oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar (guru besar Filsafat
UGM), M. Sayyidil Mursalin/ Gus Nur (Pimpinan Ponpes Gapuro& Ketua
Lembaga Adat Nusantara Yayasan Poetro Negoro), Pejabat yang mewakili
Bupati Magelang, Perwakilan PT Taman Borobudur, Acarya Shiwa Buddha
Yogma (pemuka agama Hindu dari Bali), Jatmoko
(Ketua Paguyuban Notonagoro/ Catur Padmonegoro) dan sejumlah wartawan serta aparat kepolisian. Acara yang dipandu oleh Nurcholish (Pemred Tabloid Sangkakala) tersebut, diawali sambutan oleh Perwakilan Bupati Magelang, dilanjutkan dengan Ceramah dan Diskusi tentang “Borobudur dan Kejayaan Nusantara” oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Acara yang berlangsung khidmat dan dihiasi sinar bulan Purnama Sidhi tersebut, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Maklumat Borobudur Kalpa Sutra Mandala Mattaram oleh Gus Nur, dan diakhiri do’a oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Sementara acara tersebut berlangsung,ditempat yang agak terpisah sekitar sepuluh meter, dapat disaksikan pula acara ritual yang dipimpin oleh seorang pemuka Hindu dari Bali, Acarya Shiwa Buddha Yogma. Romo Yogma (sapaan akrabnya) terlihat duduk bersila memejamkan mata, sementara para pengiringnya mulai menyalakan beberapa obor yang disebutnya sebagai “penyalaan mercusuar Nusantara”.
Semua itu, secara spiritual, dilakukan berdasarkan petunjuk atau wangsit yang turun kepada beberapa yang hadir dalam acara tersebut. Petunjuk tersebut secara umum menggambarkan bentuk dan jiwa Borobudur yang seolah memberi arah perintah untuk melakukan do’a bersama di Borobudur demi menyongsong bangkitnya kembali ruh dan kejayaan Nusantara di masamasa yang akan datang. Semoga.
(Ketua Paguyuban Notonagoro/ Catur Padmonegoro) dan sejumlah wartawan serta aparat kepolisian. Acara yang dipandu oleh Nurcholish (Pemred Tabloid Sangkakala) tersebut, diawali sambutan oleh Perwakilan Bupati Magelang, dilanjutkan dengan Ceramah dan Diskusi tentang “Borobudur dan Kejayaan Nusantara” oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Acara yang berlangsung khidmat dan dihiasi sinar bulan Purnama Sidhi tersebut, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Maklumat Borobudur Kalpa Sutra Mandala Mattaram oleh Gus Nur, dan diakhiri do’a oleh Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Sementara acara tersebut berlangsung,ditempat yang agak terpisah sekitar sepuluh meter, dapat disaksikan pula acara ritual yang dipimpin oleh seorang pemuka Hindu dari Bali, Acarya Shiwa Buddha Yogma. Romo Yogma (sapaan akrabnya) terlihat duduk bersila memejamkan mata, sementara para pengiringnya mulai menyalakan beberapa obor yang disebutnya sebagai “penyalaan mercusuar Nusantara”.
Semua itu, secara spiritual, dilakukan berdasarkan petunjuk atau wangsit yang turun kepada beberapa yang hadir dalam acara tersebut. Petunjuk tersebut secara umum menggambarkan bentuk dan jiwa Borobudur yang seolah memberi arah perintah untuk melakukan do’a bersama di Borobudur demi menyongsong bangkitnya kembali ruh dan kejayaan Nusantara di masamasa yang akan datang. Semoga.
02.44
Unknown
Membaca Borobudur, Kunci Bangkitnya Kejayaan Nusantara
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini
didirikan oleh para penganut agamaBuddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsaSyailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur
sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya
dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus
memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang
yang didalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila dalam
posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar
roda dharma).
Jika Borobudur dikatakan merupakan
karya Buddhis sedunia, hal ini tidaklah tepat. Borobudur merupakan sumbangan nyata
manusia Jawa untuk menghormati laku spiritual yang dilakukan oleh Siddharta
Gautama. Dikatakan demikian karena jika Borobudur merupakan karya Buddhis
sedunia maka seharusnya letaknya bukan di Indonesia, melainkan di India, tempat
awal mula ajaran Buddha. Adapun manusia Jawa yang dimaksud adalah bukan Jawa
yang menunjukan suku Jawa, melainkan Jawa sebagai singkatan dari Jiwa Kang Kajawi. Hal tersebut merupakan
berkah yang diungkapkan oleh PB IX Surakarta. Jiwa Kang Kajawi adalah jiwa yang
tercerahkan, apapun sukunya, jika jiwanya sudah dapat menangkap cahaya Illahi
maka disebut jiwa kang kajawi.
Drs. RMP. Sosrokartono, kakak
kandung RA. Kartini, pernah berkata yang pada intinya mengatakan bahwa
Borobudur adalah kunci untuk mewujudkan kejayaan Indonesia. Hal ini tidak dapat
dipungkiri, karena dengan membaca reliefnya saja, akan banyak menginspirasi
sesuai dengan keilmuwan yang dimiliki oleh pengunjung yang membacanya. Belum
lagi tentang struktur bangunannya, sampai pada tahap penghayatan laku spiritual
yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Hal ini terbukti dengan sudah banyaknya
orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang merasa terpanggil jiwanya
pernah beberapa kali mengadakan acara spiritual lintas keyakinan do’a bersama
untuk kejayaan Indonesia di Borobudur, seperti peristiwa yang terjadi tanggal
21 Juni 2012 dan 5 Juli 2012 yang menghasilkan Maklumat Borobudur (baca di halaman lain, red).
Pada tahun 1969, Neil Amstrong mengirim
berita ke pemerintah Indonesia bahwa dalam perjalanannya ke bulan, Neil
Amstrong melihat sinar terang yang memberikan rasa damai dan tenang dari bumi,
dan ketika dilihat dengan teleskop sinar itu berasal dari Candi Borobudur.
Neil juga mengirim sampel batu dari bulan sebagai kenang kenangan.
Hal ini telah membantu promosi wisatawan asing datang ke Indonesia dan restorasi Borobudur oleh UNESCO bersama pemerintah Republik Indonesia terlaksana di tahun 1979. (Kompas, 5 Sep 2012, hal.12) Tentu hal ini bukan sebuah kebetulan, semua yang terjadi ada maksud yang perlu dikaji, sehingga pertanyaan apa-mengapa-bagaimana dapat dijawab secara jelas dan tepat.
Neil juga mengirim sampel batu dari bulan sebagai kenang kenangan.
Hal ini telah membantu promosi wisatawan asing datang ke Indonesia dan restorasi Borobudur oleh UNESCO bersama pemerintah Republik Indonesia terlaksana di tahun 1979. (Kompas, 5 Sep 2012, hal.12) Tentu hal ini bukan sebuah kebetulan, semua yang terjadi ada maksud yang perlu dikaji, sehingga pertanyaan apa-mengapa-bagaimana dapat dijawab secara jelas dan tepat.
Candi Borobudur merupakan model alam semesta dan
dibangun sebagai tempat suci untuk umat Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah. Secara
umum Borobudur memperlihatkan laku spiritual seorang Siddharta Gautama sehingga
mendapat pencerarahan dan kebijaksanaan. Umat Buddha
yang akan melakukan ritual akan masuk melalui sisi timur di dasar candi dengan berjalan melingkarinya searah
jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah
dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah
berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang
terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan
pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa
serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas
Stamford Raffles, yang saat
itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah
Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian
situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Konsep Rancang Bangun
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama
atau "nafsu rendah". Bagaimana dengan kondisi dunia
atau khususnya kondisi Indonesia saat ini? Jika semua anak bangsa termasuk
generasi muda dan para pemegang kekuasaan jiwanya banyak yang dikuasai nafsu
rendah, maka permasalahan-permasalahan bangsa ini akan semakin berat untuk
dapat diselesaikan. Bagian ini
sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat
konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat
160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil
struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat
melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan
yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang
pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300
gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir
dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Bagaimana dengan kondisi dunia atau khususnya kondisi Indonesia saat ini?
Jika semua anak bangsa termasuk generasi muda dan para pemegang kekuasaan
jiwanya sudah mampu mengendalikan nafsu, maka permasalahan-permasalahan bangsa
ini akan semakin mudah untuk dapat diselesaikan. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha
terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar.
Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang
sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan
rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah
Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat
tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian
teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan
relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan
ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak
berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam
atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk
dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Dapat dibayangkan, jika
sebagian besar manusia Indonesia sudah bebas dari segala keinginan, maka akan
terciptalah kesejahteraan. Orang-orang yang ditaqdirkan kaya akan mudah untuk
memberikan sumbangan atau santunan tali kasih, berinfak-sedekah, ataupun
berzakat.
Pada pelataran lingkaran terdapat 72 stupa kecil
berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran
yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras
terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras
teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur
sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih
tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak
terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan
wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi.
Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah
ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak
rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui
penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung
yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.
Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak
boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini
menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong
diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan
ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan,
dan bentuk serta terbebas dari lingkaran lingkaran lahir - hidup - mati (samsara)
Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk
membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju
situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu
seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat.
Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu
sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu.
Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang
tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap
sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya,
candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami.
Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang
ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong
dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang
bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha
diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan.
Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa,
daripada kuil atau candi.[51]Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk
memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan
pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai
rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa
ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan
dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa
prasejarah Indonesia.
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada
teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan
sangat teliti dan halus. Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis
dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini
sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha. Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa
India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis
tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita
bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai
derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali
digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk
tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian
leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban
tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk
beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya
figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil
menggenggam teratai bertangkai panjang.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti
sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan
hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau
di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk
ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi,
bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa,
serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah
relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan
kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief
Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara
Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau
disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskertadaksina yang artinya ialah timur.
Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa
dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya,
mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka
secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama)
dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun
sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada
dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara
singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu
ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief
yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum
karma. Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma,
yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan
merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu
cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi
gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara
keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir -
hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan
oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju
kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh
pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum
Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Siddhartha Gautama mencukur rambutnya dan menjadi
pertapa
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam
deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang
dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan
wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga
pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura
yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut
hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief
tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran
Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu.
Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama,
yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang
Buddha di sebut dharma yang juga berarti
"hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah
berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran
Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti
sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari
makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah
yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.
Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan
dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan
Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang
berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita
Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama,
artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan
yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau
untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4
Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong
ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi
tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura
didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk
bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Langganan:
Postingan (Atom)