CANDOLENG-DOLENG
Rahmi,
begitulah orang tuaku memberiku nama delapan belas tahun silam. Namun
lucunya, mereka sama sekali tak mengerti apa arti nama itu. Ketika SD
aku pernah bertanya tentang arti nama itu. Ibuku menjawab bahwa
sebenarnya nama itu diambil dari nama bidan yang membantu persalinan ibu
dulu.
“
Bidan Rahmi itu cantik dan baik sekali orangnya. Ibu berharap kelak
kamu bisa seperti dia,” jelas Ibu tersenyum sambil melipat pakaian.
Oh…ternyata begitu ya? Namun karena belum puas dan masih penasaran juga,
maka kuberanikan diri menanyakan lagi arti namaku pada Bu Azisah, Guru
Agama di sekolahku.
“ Oh….Rahmi itu, kalau tidak salah, sama juga artinya dengan Rahman; salah satu sifat Allah, Swt. Maha
Pengasih, Maha Penyanyang …. Pokoknya namamu ini bagus, nak! Dekat
dengan kebaikan… orang tuamu pastilah menginginkan sesuatu yang baik
selalu mengiringi kehidupanmu,” Bu Azisah menjelaskan secara terperinci.
Penjelasan yang bagus dan aku puas.
Ternyata
namaku mengandung makna yang dalam, …. Suatu kebaikan. Aku senang
dengan penjelasan Bu Azisah. Tak salah aku memilih beliau sebagai guru
favorit, selain cantik, baik dan lembut…dia juga pintar mengajar. Hal
itu kemudian mengilhamiku untuk menjadi guru jika besar nanti. Alangkah
lugu dan naifnya masa kanak – kanak, begitu banyak keinginan dan gampang
pula merubahnya seketika. Padahal sebelumnya aku bercita-cita menjadi
bidan seperti bidan Rahmi sesuai mimpi ibuku.
Namun
tragisnya ,…. tanpa disangka sepuluh tahun kemudian impian itu seperti
mengabur. Menginjak tahun pertama bangku menengah keadaan ekonomi
kelurgaku merosot. Ayahku yang berprofesi sebagai kontraktor tiba-tiba
terserang Stroke, lumpuh tak berdaya di kursi roda. Segala
proyek dan tendernya lepas, pindah tangan. Sementara untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari ibu mencoba melanjutkan usaha keluarga turun
temurun yaitu jual beras di pasar.
Sebenarnya
hasil jualan itu cukuplah buat makan, namun karena dua orang abangku
sedang kuliah dan terlanjur kuliah sebelum musibah datang, ibu memilih
untuk terus membiayai studi mereka. Mobil pribadi kami pun terpaksa
berganti plat, dari plat hitam menjadi plat kuning agar jadi tambahan,
namun belakangan mobil itu pun lebih sering masuk bengkel daripada
memberi inkam. Kami pun memutuskan untuk menjualnya.
Begitulah
keadannya berkembang. Ibuku jadi sering marah-marah. Sedikit – sedikit
ngomel, sedikit – sedikit membentak. Aku sering merasa tak tahan.
“ Kamu ini taunya minta uang saja! Apa kamu tidak lihat, ibu sekarang cari uang sendiri, Ayahmu lumpuh! Sudah buta kamu?!”
Aku sungguh tak tahan jika mendengar ibuku ngomel seperti itu, persis seperti Eminem penyanyi
Rap idolaku. Rasanya ingin lari saja dari tempat itu. Padahal yang
kuminta itu terhitung masih wajar, bukan uang buat jajan, tapi untuk
bayar uang sekolah yang sudah nunggak tiga bulan.
“Lalu Saya harus bilang apa, Bu …. sama gurunya? Maluu… cuma Saya satu-satunya anak yang belum lunas bukunya di sekolah itu,”
“Kamu
berhenti sekolah saja! Ibu sudah pusing. Kamu tau tidak, abangmu minta
duit lagi dua juta! “ balas Ibu tanpa berani melirik wajahku sedikit
pun. Aku tahu sebenarnya ia pun tak tega mengeluarkan perintah itu kalau
tak terpaksa.
“Sana
pulang ke rumah dulu, ayahmu belum makan dari siang…” tambahnya. Ya
ampun, aku melirik jam tanganku , ini sudah jam empat sore, …. dan
Ayahku belum makan!?. Pastilah karena Ibu sibuk di pasar, tak sempat
pulang ke rumah. Hhhhh….ini sungguh menyedihkan, aku setengah berlari
menuju rumah. Takut terjadi sesuatu pada ayahku.
AKU
BENCI HIDUP! Jika kekesedihan tiba-tiba menjepit seperti ini, rasanya
aku ingin mati saja.Untunglah, di tengah keadaan yang serba sulit
seperti itu, ….. Tari selalu ada. Tari adalah kawan baikku. Kami satu
sekolah. Baru bertemu langsung merasa akrab. Ia kerap membantu
keuanganku, terutama uang sekolah. Tak terhitung pula berapa uang yang
telah ia keluarkan untuk sekedar mentraktirku makan. Aku sampai merasa
tak punya wajah lagi di hadapannya. Untungnya ia sangat pengertian dan
baik hati. “ Rahmi kalau kamu malu aku traktir terus, kamu boleh kok
menganggap semua ini utang! ..kelak jika punya uang banyak, kamu
balikin! “ ujarnya mencoba memulihkan harga diriku yang gak jelas lagi
harganya tinggal berapa.
Hhhh…entahlah,….aku
tak tahu harus berkata apalagi. Kenyataan ‘bahwa orang yang benar-benar
baik dan tulus di dunia itu memang ada’ selalu membuatku merasa Tuhan
tak pernah jauh. Aku juga selalu mengingat pesan Bu Azisah dulu,…katanya
‘Orang baik tak akan kelaparan di dunia ini, karena Allah akan selalu
memberinya makan. Jadi, teruslah berbuat baik dan jangan lupa berusaha”.
‘BERUSAHA’
kata yang terakhir itu terus menghantuiku. Aku memang harus berusaha,
berbuat sesuatu. Tak mungkinlah aku mengandalkan bantuan Tari
terus-menerus. Aku harus bangkit, aku harus mencari jalan agar bisa
keluar dari labirin penderitaan ini. Aku tak tahan lagi. Sementara untuk
menunggu abangku lulus kuliah dan sukses sepertinya masih lama. Aku
menghela napas ……, akhirnya aku mengambil keputusan itu. Keputusan untuk
menjadi penyanyi Candoleng – doleng.
Candoleng-doleng adalah Sebuah sebutan bagi biduanita di daerah Sulawesi
dan sekitarnya. Profesi ini dipandang negatif oleh sebagian besar
masyarakat karena Biduanita bernyanyi dengan memakai busana minim sambil
menari erotis diiringi organ tunggal. Kaum pria sangat menggemarinya.
Biasanya pertunjukan itu digelar di pesta kawinan. Kontanlah banyak
warga yang merasa resah karena kadang anak-anak dan suami mereka ikut
menyaksikan. Mereka minta aparat keamanan segera menertibkannya. Namun
tetap saja bisnis pertunjukan itu bisa mencuri-curi untuk tetap tampil
terutama di pelosok desa atau kampung. Tapi dibanding dulu, sekarang ini
penyanyi Candoleng-doleng memang tak seheboh dulu. Jumlahnya tinggal sedikit. DAN AKU ADALAH SATU DARI YANG SEDIKIT ITU. Sedih yah? Bersama Tari aku roadshow
ke berbagai tempat. Biasanya kami hanya mengambil job di akhir pekan,
hingga tak mengganggu sekolah. Awalnya aku merasa canggung karena tak
biasa, namun dengan sabar Tari membimbingku. “ Kamu ini masih malu-malu
saja! Anggap aja agak ada orang di depanmu! “ nasehatnya selalu.
Lama-lama aku pun terbiasa. Bahkan kemudian aku menjadi maskot
pertunjukan. Kuakui kualitas suaraku tak semerdu biduanita lain, namun
goyanganku…kata orang maut!
Sungguh!
Segalanya berjalan indah, dosa terasa berada di urutan kedua, dan uang
adalah pemenangnya. Pundi-pundi keuanganku pun menebal. Berkat kerja
keras dan keprofesionalanku, ada seorang produser lokal yang mau
mengajakku rekaman , namun kutolak. Aku tak mau wajahku terpampang di
mana-mana. Sedapat mungkin aku tetap ingin menjaga nama keluarga
besarku. Untunglah selama ini aku tak pernah menggunakan nama asliku.
Ayahku
tak tahu menahu mengenai hal ini. Sekuat tenaga aku menyembunyikannya.
Ibu dan abang-abangku juga kuminta untuk tutup mulut jika ingin ekonomi
keluarga terus tertopang olehku. Kadang terasa aku ingin off saja dan
menjadi penyanyi biasa, namun jika ingat pendapatannya lebih sedikit,
aku urungkan niat itu. Biar saja dulu, inilah caraku dalam mengumpulkan
uang banyak. Walaupun aku tau Ayah paling benci penari Candoleng- doleng! Jika tau aku pasti dibunuhnya atau diusir. Tak diakui lagi sebagai anaknya.
Suatu
ketika aku kaget setengah mati ketika tanpa disangka Ayah menanyakan
itu padaku, rupanya ia pernah mendengar sepintas lalu orang
membicarakanku di balik jendela. Ia tak sengaja mendengar informasi itu.
Bibirku tiba-tiba tercekat, entah harus menjawab apa. Selama ini aku
sebenarnya diam-diam bersyukur juga ayahku menderita lumpuh dan bukan
yang sakit lainnya, hingga tak bisa mengunjungi tempatku beraksi dan
berinteraksi lebih dengan orang lain. Rasa syukur yang aneh yah? ……
maafkan anakmu yah.
“ Ah itu bohong, Yah! Jangan dengar kata mereka . Aku memang penyanyi tapi bukan penyanyi Candoleng-doleng!
Mana mau aku begitu……, ayah harus percaya padaku!” ujarku meyakinkan,
walau dalam hati menangis karena telah membohongi ayah sendiri. Untuk
pertamakali Aku melihat ayah mengeluarkan air setetes air di sudut
matanya. “ Sungguh yah, nak. Kamu gak bohong ! kamu tau penyanyi Candoleng-doleng
itu seronok sekali. Ayah takut Allah akan melaknat kita. Kamu puteri
kami satu-satunya, ……. gak apa-apa jadi penyanyi, tapi jangan Candoleng-doleng….!
Memang penyanyi biasa gajinya sedikit, tapi itu tak masalah asalkan
berkah. Untuk apa dapat uang banyak kalau tak halal? Semoga kamu masih
mau mendengar nasihat ayahmu yang lumpuh ini. Seorang ayah yang tak bisa
lagi memberimu apa-apa selain nasihat baik. Maafkan ayah ... yah,
gara-gara sakit ini kamu terpaksa jadi tulang punggung keluarga, “ Aku
pun menghambur memeluknya. Kasihan Ayahku….., lemah tak berdaya.
Ibu
pun tak kurang menasehatiku tiap ada waktu, “ Nak apa tak ada pekerjaan
lain yang bisa kamu kerjakan?” terlihat gurat cemas di wajahnya. “ Ibu
tak tahan mendengar gunjingan tetangga. Ibu juga khawatir….. nanti tak
ada pria baik-baik yang mau menyuntingmu,”
“
Tapi mau kerja apalagi, Bu??...Pelacur…atau jaga toko? Berapa gajinya
Bu? Gak akan cukup. Lagipula aku harus sekolah. Hanya ini pekerjaan yang
sesuai untukku ” balasku sedikit kesal. “ Gak usah dengar kata orang!
aku juga tak akan begini terus,…. Ini hanya sementara. Ibu kan tau kalau
aku jadi penyanyi biasa, pemilik organ akan jarang memakaiku. Jadi
sabarlah…ini hanya sementara, moga abangku cepat lulus yah”. Ibu pun
memelukku sambil menangis, “ Maaf yah! Maafkan kami tak bisa
membahagiakanmu ..tak bisa menjagamu…..,”.
“ Dahlah, Bu! aku harus berangkat! Tari sudah menungguku. Hari ini kami manggung di Pare-Pare,
besok subuh pulang! “ kataku sambil membenahi koper. Ibu diam saja.
Kasihan juga melihat Ibu, wajahnya bertambah tua saja kelihatannya
karena masalah. Terbayang dulu ibu rajin ke salon, sekarang… alamat
salon itu aja dia pasti sudah lupa!
Rombongan Kami biasa berangkat dengan menumpang mobil Pick up. Bersama Kami terguncan-guncang di atas Pick up.
Kadang aku melamun, ingat keluargaku terutama wajah Ibu dan Ayah. “
Kenapa…, Mi? “ tegur Tari. Gelapnya malam rupanya tak mampu
menyembunyikan wajahku yang mashgul. “ Entah mengapa tiba- tiba aku
ingat Ayahku. Aku ingat perkataannya beberapa bulan lalu ,” jawabku
tanpa gairah. “ Ucapan Ayahmu yang mana?” selidik Tari. “ Ayahku bilang,
Candoleng-doleng itu tak baik. Kurasa aku akan mencari pekerjaan lain, Tar. Aku takut, ”
“
Takut apa?” suara Tari pun mulai tak sekeras tadi seperti mulai
menyelami pikiranku. “ Takut mendapat Adzab, takut dilaknat! Kamu tau,
pekerjaan kita ini menyuburkan pornografi. Kita ikut membuat orang lain
tersesat. Pasti itu salah satu alasan orang tuaku juga melarang
pekerjaan ini.”
“ Ya Allah! Astagfirullah ….., Naudzubillah mindzlaik .
Jangan bicara begitu, ah!“ Tari menggeser lalu menggeser duduknya
lebih dekat padaku. Ramai beberapa biduan dan biduanita lain serta crew organ
tunggal berbincang di sekitar kami membahas masalah mereka
sendiri-sendiri. Sama seperti kami yang tak peduli , mereka pun tak
peduli obrolan kami.
“
Ini memang berdosa, Mi. Tapi kan kita terpaksa melakukannya. Lagipula
Tuhan pasti mengerti. Kalau mau protes, proteslah pada penguasa…karena
mereka kita jadi begini. Bukannya memikirkan nasib rakyat kecil,
sebaliknya mereka memeras kita, mencuri uang rakyat! Andai tak ada
korupsi, aku yakin kemiskinan tak sebanyak ini.” Keluhnya. Yah, itu
betul juga!
“ Dahlah, gak usah marah-marah. Aku luamyansuka ucapanmu, Tuhan pasti mengerti. Tapi darimana kamu tahu kalau Tuhan pasti mengerti, jika jelas-jelas ini pekerjaan yang tak baik? ”
“
Dahlah, Mi. Gak usah mikir yang baik-baik dulu. Kalau kamu ganti
pekerjaan sekarang, mungkin kamu akan kekurangan. Penghasilan penyanyi
biasa berapa sih!? Yah, sebenarnya cukup kalau dicukup-cukupin, tapi
katanya kamu ingin kuliah?”
“ Iya, hehehe….Kamu sendiri, apa rencanamu?”
“
Aku mau menikah saja, Mi. Imran pacarku, tahun depan wisuda. Aku
bekerja begini kan juga untuk dia juga. Jangan bilang siapa-siapa yah?
Aku malu! Masa aku yang harus membiayainya, hihi… namanya juga kekasih.
Aku percaya padanya, kelak dia akan melamarku, setelah lulus nanti”.
“ Baguslah! Mudah-mudahan begitu”.
Tak
terasa kami pun tiba di tempat tujuan.Pemilik organ meminta kami untuk
tak bergoyang terlalu erotis kali ini karena banyak sorotan. Yah, kami
ikut saja…maunya apa. Yang penting bagi kami duitnya saja. Rencananya
kami akan tampil dua kali, siang dan malam. Namun urung pertunjukan itu
selesai, aku menerima telepon dari rumah.
Ayah meninggal!
Deg, jantungku terasa berhenti berdetak. Tak terkatakan sedihnya.
Dadaku sesak. Air mataku tumpah di sepanjang jalan yang tertempuh
kurang lebih tiga jam itu. Akhirnya aku tiba, kulihat bendera kecil
tanda kematian terpancang di depan rumahku yang telah disesaki orang.
Ibu segera menemuiku, Kami berpelukan lama sekali. “ Bagaimana
ceritanya, Bu………?” tanyaku. Ibupun mulai bercerita bahwa tiba-tiba
semalam jantung Ayah sesak. Di sela-sela waktu Ibu bercerita, kulihat
dua orang abangku sibuk melayani tamu yang melayat. Setelah puas
menciumi wajah Ayah dan berkeluh-kesah di depan mayatnya, kudengar Ibu
memanggilku. Wajahnya terlihat cemas sekali. Aku pun menghampirinya.
“
Sudahlah, nak! Kamu gak usah sedih, relakan saja Ayahmu yah?” nasihat
Ibu. Aku mengangguk walau kesedihan itu masih besar. Sedih karena belum
bisa membahagiakan ayah, sedih karena pernikahanku kelak tak disaksikan
lagi olehnya.“ Kesini sebentar..’ Ibu lalu menarikku ke kamar.
Sepertinya rahasia sekali, aku pun penasaran. “ Nak, sebelumnya Ibu
minta maaf yah? …tapi apa kamu punya tabungan nak? Ibu bingung cari uang
kemana untuk biaya pemakaman Ayahmu..kamu ada?” pelan sekali Ibu
bicara. “ Ada Bu…perlu berapa memangnya?” tanyaku. Setelah mengiyakan
spontan Ibu memelukku sambil menangis lega. Bang Sani lalu memboncengku
ke ATM. Sepanjang jalan kami diam saja, tak mengobrol karena
terlalu sedih. Tapi kurasa kesedihanku tak terkalahkan oleh apapun di
dunia ini.
Seminggu
setelah kepergian ayah aku menghubungi bosku dan menyatakan berhenti
bekerja. Tari langsung panik, “Kenapa berhenti Mi? Bukankah rencanamu
masih banyak. Kamu perlu uang! “ tukasnya. “ Iya. Aku tau tapi bukan
dengan jalan begini. Kuharap kamu pun mau mengikuti jejakku, Tar. Cari pekerjaan yang lebih baik! Mengenai impianku untuk kuliah, kalau memang Allah mentakdirkannya, Insya Allah
ada jalannya! Maaf Tar, aku tak akan memaksamu ... tapi aku benar-benar
akan berhenti. Kematian ayahku kemarin telah menyadarkanku. Asal tau
saja, biaya pemakaman ayah kemarin aku bayar dari hasil menyanyi Candoleng-doleng yang dibencinya.... hiks! Anak macam apa aku ini!? Hiks....” aku pun histeris tak sanggup menahan tangis. “ Kuyakin kamu pun tak ingin mengulangi hal buruk ini, sahabatku....hiks! “ lanjutku masih dengan tangisku. Sementara Tari terdiam di seberang sana kehilangan kata-kata.
Penulis : Wahida Waris